MESKIPUN bukan persoalan wajib atau sunnah, bacaan shalat dzuhur dan ashar yang dikeraskan atau tidak, lebih bertumpu pada kebolehan pelaksanaannya atau tidak. Ternyata hal tersebut memiliki asal penyelenggaraan atau sejarah mengapa hal tersebut dilakukan.
Firman Allah SWT berikut ini dapat menjadi landasan mengapa bacaan pada shalat dzuhur dan ashar tidak bersuara.
“Dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan jangan pula merendahkannya, dan carilah jalan tengah antara keduanya.” (Al-Isra 110)
BACA JUGA: Wanita Shalat Dzuhur di Hari Jumat, Kapan Waktunya?
Tafsir dan sebab turunnya ayat tersebut ialah ketika Rasulullah berada di Mekkah, beliau melaksanakan Shalat berjamaah bersama para sahabat dengan mengeraskan bacaan surat.
Saat itu kaum musyrikin Mekkah mendengarnya, lalu mencaci bacaan Rasulullah tersebut, mencaci Dzat yang menurunkannya dan mencaci pula yang menyampaikannya (Rasulullah).
Karena itulah Allah berfirman, “Dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu” sehingga potongan ayat tersebut bermaksud agar orang musyrik tidak mendengar bacaannya.
Tetapi Allah juga menyampaikan, “dan jangan pula merendahkannya” sehingga bacaan mesti tetap terdengar oleh sahabat yang ada di shaff pertama. Oleh karena itu, Allah melanjutkan dengan “dan carilah jalan tengah antara keduanya.”
Tetapi dalam riwayat lain menjelaskan bahwa ketika sudah berhijrah ke Madinah, perintah tersebut gugur. Beliau boleh melakukan yang beliau kehendaki antara keduanya. Dari keterangan tersebut, Allah memerintahkan agar tidak mengeraskan bacaan saat siang hari (shalat Dzuhur dan Ashar) agar tidak menjadi celaan bagi musyrikin.
Sementara bacaan shalat maghrib, Isya dan Shubuh dapat dizhahirkan. Adapun hukum tentang hal ini, telah dijelaskan dalam Shahih muslim, Abu Hurairah memberitahukan tentang keadaan Rasulullah saat Shalat.
BACA JUGA: Mau Jadi Imam Shalat? Penuhi Syarat Ini
“Rasulullah Shalallau ‘alaihi wasallam pernah shalat bersama kami. Pada shalat dzuhur dan ashar, beliau membaca Al-Fatihah dan dua surat pada rakaat pertama. Sesekali beliau memperdengarkan ayat yang beliau baca. Beliau memanjangkan bacaan pada rakaat pertama dari shalat dzuhur dan memendekannya pada rakaat kedua. Begiru juga shalat subuh.”
Dari keterangan di atas, pada kalimat “Sesekali beliau memperdengarkan ayat yang beliau baca” bahwa adanya kebolehan mengeraskan (jahar) atau memelankan (sirr) bacaan, bukan menjadi syarat sah dalam shalat. []
Sumber: Jalan Sirah