GAZA—Jurnalis sekaligus relawan Indonesia di Gaza, Abdillah Onim mengungkapkan kondisi saat terjadi bentrokan serangan antara Palestina dan Israel di Gaza sebelum tercapainya kesepakatan gencatan senjata. Dia menggambarkannya sebagai ‘malam maut’.
“Bagi saya, itu malam mencekam, malam maut, mengapa? Sekitar jam tiga subuh ada sebuah rumah susun warga Gaza enam lantai diserang rudal secara beruntun. Dalam hitungan menit rusun tersebut hancur rata tanah, dan gedung tersebut hanya berjarak sekitar 600 meter dari tempat tinggal saya. Dentuman rudal benar-benar terasa seakan lapisan kuping pecah,” cerita Abdillah Onim.
BACA JUGA: Mufid Hasaniyah: Serangan Israel Hancurkan 880 Rumah di Gaza
Onim yang telah tinggal di Gaza sejak 2009 mengatakan ia bercerita kepada anak-anaknya dentuman itu hanyalah “kembang api”.
“Saya sampaikan bahwa suara itu hanya balon atau kembang api yang pernah mereka dengar di Jakarta saat malam pergantian tahun,” kata ayah tiga anak tersebut.
Kendati demikian, Onim mengaku bahwa dirinya pun merasa panik.
“Saya sebagai warga negara asing tentu panik karena serangan sangat masif dari sana-sini, sampai semalam penuh tidak bisa tidur. Dalam kondisi begini, untuk waspada saja maka semua barang dokumen seperti passport dan lain-lain, saya masukan dalam tas ransel. Jika terjadi sesuatu maka kami harus keluar rumah dengan membawa apa adanya,” tambahnya.
Seorang relawan Indonesia lain, Reza Abdilla, yang tinggal tak jauh dari lokasi “pejuang Palestina meluncurkan roket” juga merasakan getaran di rumahnya.
“Getaran sangat terasa, debu dan pasir jatuh dari plafon. Daerah rumah saya ini dekat tempat latihan pejuang Gaza, sekitar 100 meter, di depan dan samping, jadi sangat rawan di daerah sini,” kata Reza, relawan MER-C badan medis dan kemanusiaan.
Warga Gaza sendiri biasanya diminta untuk tetap di rumah dan tidak berkumpul bila terjadi saling serang seperti ini.
“Jalan agak sepi dan warga disuruh berhati-hati. Tidak ada tempat berlindung lagi. Jadi ya di rumah, pasrah saja, karena kalau ada serangan, terjadinya brutal, tak tentu arah,” tambahnya.
Muhammad Husein, relawan Indonesia lain di Gaza, juga pernah mengalami perang terparah sebelumnya.
Husein mengatakan apa yang dia saksikan tak pernah dia lihat di manapun di dunia, yaitu ketahanan warga Palestina.
“Apa yang saya lihat, fenomena yang tak ditemukan di manapun, dengan segala keterbatasan dan kekurangan dan penderitaan yang dihadapi namun warga Palestina berhasil bertahan dalam episode agresi militer besar,” kata Husein, “Perlawanan para pejuang Palestina di Gaza membuat petinggi politik dan militer Israel seperti kebakaran jenggot,” tambahnya.
Ia juga mengatakan bila terjadi saling serang, warga Palestina tak memiliki tempat perlindungan.
“Tidak ada perlindungan bagi mereka (warga Palestina) seperti pemukim Yahudi di Israel kalau pertempuran terjadi. Pemerintah (Israel) membuka bunker untuk warga, tapi di Gaza tidak,” tutur Husein, “Semua jadi target serangan udara, serangan darat bahkan laut, tapi saya lihat tak ada ketakutan sama sekali di wajah mereka,” tambah Husein.
BACA JUGA: Lieberman Mundur, Warga Gaza Bersukacita
Aksi balas serangan antara Israel dan kelompok milisi Hamas di Gaza pecah selama dua hari setelah tujuh anggota Hamas dan seorang tentara Israel tewas dalam operasi rahasia Israel, Ahad (11/112018).
Selama dua hari, Senin (12/11/2018) dan Selasa (13/11/2018) lalu, kelompok-kelompok di Gaza dilaporkan menembakkan lebih 460 roket ke arah Israel dan pasukan Israel mengebom 160 sasaran di Gaza.
Aksi saling serang mereda pada Rabu (14/11/2018) setelah kabinet Israel memutuskan menerima gencatan senjata guna mengakhiri perang dua hari dengan kelompok-kelompok Palestina di Gaza.
Namun, Abdillah Onim menyatakan walaupun kondisi tampak kembali normal, namun “tak ada jaminan kondisi tetap normal karena bisa saja dalam beberapa detik atau beberapa jam kemudian terjadi serangan serentak lagi.” []
SUMBER: BBC