JAKARTA—Kemenko Maritim, BMKG, BIG, BPPT, LIPI, dan Badan Geologi ESDM menyimpulkan bahwa tsunami di Selat Sunda yang terjadi pada Sabtu (22/12/2018) disebabkan oleh longsoran di lereng Gunung Anak Krakatau, bukan gempa tektonik.
“Tsunami yang terjadi bukan disebabkan oleh gempa bumi tektonik, namun akibat longsor (flank collapse) di lereng Gunung Anak Krakatau akibat erupsi Gunung Anak Krakatau,” demikian penjelasan dalam keterangan tertulis mereka, Senin (24/12/2018).
BACA JUGA: Ini Luas Longsoran Anak Krakatau yang Diduga Jadi Penyebab Tsunami Selat Sunda
Tsunami itu disebutkan ditandai terjadinya anomali permukaan laut pada Sabtu (22/12/2018) sekitar pukul 22.00 WIB. Sebelum anomali permukaan laut itu, BMKG mendapat data terjadinya longsoran lereng Gunung Anak Krakatau seluas 64 ha pada pukul 21.03 WIB.
Berikut ini 7 poin kesepakatan bersama antara Kemenko Maritim, BMKG, BIG, BPPT, LIPI, dan Badan Geologi ESDM terkait tsunami Selat Sunda itu:
1. BMKG memperoleh data tide gauge pada 22 Desember 2018. Sekitar pukul 22.00 WIB, 4 tide gauge di Selat Sunda mencatat adanya anomali permukaan air laut yang diyakini sebagai tsunami.
2. Tsunami yang terjadi bukan disebabkan oleh gempa bumi tektonik, melainkan disebabkan longsor (flank collapse) di lereng Gunung Anak Krakatau akibat erupsi Gunung Anak Krakatau.
3. Kejadian longsor lereng Gunung Anak Krakatau tercatat di sensor seismograf BMKG di Cigeulis Pandeglang (CGJI) pada pukul 21.03 WIB, juga beberapa sensor di Lampung (LWLI, BLSI), Banten (TNG/TNGI, SBJI), Jawa Barat (SKJI, CNJI, LEM).
4. Hasil analisis rekaman seismik (seismogram) dari longsoran lereng Gunung Anak Krakatau setelah dianalisis oleh BMKG setara dengan kekuatan MLv = 3.4, dengan episenter di Gunung Anak Krakatau.
5. Faktor penyebab lepasnya material di lereng Anak Krakatau dalam jumlah banyak adalah tremor aktivitas vulkanik dan curah hujan yang tinggi di wilayah tersebut.
6. Bukti-bukti yang mendukung bahwa telah terjadi longsoran di lereng Gunung Anak Krakatau sebagai akibat lanjut dari erupsi Gunung Anak Krakatau:
a. Deformasi Gunung Anak Krakatau berdasarkan perbandingan citra satelit sebelum dan sesudah tsunami yang memperlihatkan 64 ha lereng barat daya Gunung Anak Krakatau runtuh.
b. Curah hujan tinggi pada periode waktu yang berdekatan dengan tsunami.
c. Model inversi 4 tide gauge yang memperlihatkan bahwa sumber energi berasal dari selatan Anak Krakatau. Riset BPPT dan Universitas Blaise Pascal, Prancis, dipublikasikan pada jurnal internasional.
BACA JUGA: Akibat Tsunami, Pulau Terdekat dengan Gunung Anak Krakatau Ini Lumpuh
7. Tindak lanjut :
a. Direkomendasikan untuk memasang tide gauge di kompleks Gunung Anak Krakatau.
b. Survei geologi kelautan dan batimetri di kompleks Gunung Anak Krakatau (Badan Geologi, BPPT, LIPI).
c. Konfirmasi dari citra satelit resolusi tinggi (Lapan), perlu cipta optik.
d. Survei udara dengan drone (BPPT).
e. Data GPS dan data pasut (BMKG, BIG, Pushidrosal, dan Industri di sekitar kawasan). []
SUMBER: DETIK