JAKARTA—Kepala Pusat Gempa Bumi dan tsunami Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Rahmat Triyono mengungkapkan detail terjadinya tsunami Selat Sunda yang menerjang Banten dan Lampung pada Sabtu (22/12/2018) lalu.
Badan Geologi Kementerian ESDM dan Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) telah mendeteksi adanya aktivitas erupsi Gunung Anak Krakatau, pada Jumat (21/12/2018). Sementara hasil pantauan terbaru menunjukkan tinggi abu kurang lebih 400 meter di atas puncak, dan 738 meter di atas permukaan laut. Kolom abu terlihat hitam dan tebal, bergerak condong ke arah utara. Saat itu, status Gunung Anak Krakatau berada pada level II atau Waspada.
BACA JUGA: Ini Penjelasan BMKG soal Meningkatnya Fenomena Gempa di Tahun 2018
“Sebelumnya, kami telah memberikan peringatan dini gelombang tinggi yang berlaku tanggal 22 Desember 2018 pukul 07.00 WIB hingga tanggal 25 Desember 2018 pukul 07.00 WIB di wilayah perairan Selat Sunda dengan ketinggian 1,5–2,5 meter,” kata Rahmat dalam keterangan resminya, Ahad (30/12/2018).
Sabtu (22/12/2018) pukul 20.56 WIB, Gunung Anak Krakatau tercatat mengalami erupsi yang kemudian memicu longsor lereng seluar 64 hektare. 7 menit kemudian, peristiwa ini tercatat pada sensor seismograf BMKG di Cigeulis Pandeglang dan beberapa sensor lain di wilayah Banten dan Lampung.
Namun, Rahmat menuturkan, sistem processing otomatis gempa BMKG tidak memproses aktivitas erupsi secara otomatis, karena sinyal getaran yang tercatat bukanlah sinyal gempa bumi tektonik. Peringatan tsunami tidak dikeluarkan BMKG, sebab pemantauan Gunung Anak Krakatau dilakukan oleh PVMBG dan Badan Geologi.
“Sistem peringatan dini tsunami yang dimiliki oleh BMKG saat ini hanya untuk tsunami yang disebabkan gempa bumi tektonik. Sedangkan tsunami yang melanda Selat Sunda adalah akibat aktivitas vulkanik, sehingga saat ada aktivitas vulkanik di Gunung Anak Kraktau, sistem peringatan dini tsunami tidak mampu memproses secara otomatis adanya aktivitas vulkanik. Sehingga tidak memberikan warning tsunami,” jelas Rahmat.
BMKG langsung melakukan proses pengecekan marigram tidegauge (sementara) milik Badan Informasi Geospasial (BIG) setelah petugas Pusat Gempa Bumi dan Tsunami BMKG menerima laporan kepanikan masyarakat di Banten dan Lampung karena air laut pasang dengan tidak normal.
Dari hasil pengecekan, terindikasi tercatat perubahan permukaan air laut di beberapa wilayah, seperti di Pantai Jambu, Kecamatan Cinangka, Kabupaten Serang pada pukul 21.27 WIB dengan ketinggian 0,9 meter. Sementara itu di Pelabuhan Ciwandan, Kecamatan Ciwandan, Banten pada 21.33 WIB dengan ketinggian 0,35 meter.
Sementara, di Kota Agung, Lampung, permukaan air mencapai 0,36 meter tercatat pukul 21.35 WIB, dan di Pelabuhan Panjang, Kecamatan Kota Bandar Lampung tercatat pukul 21.53 WIB dengan ketinggian 0,28 meter.
BACA JUGA: BMKG Janji Segera Perbaiki Alat Pendeteksi Cuaca yang Rusak Dihantam Gelombang
“Melihat dari hasil catatan marigran, tidegauge BIG tersebut diyakini bahwa ini merupakan gelombang tsunami. Selanjutnya pada pukul 22.30 WIB, BMKG segera mengeluarkan press release telah terjadi tsunami melanda Banten dan Lampung tidak dipicu oleh gempa bumi tektonik,” ujar Rahmat.
BMKG kemudian menyampaikan telah terjadi tsunami di Banten dan Lampung, yang bukan disebabkan oleh gempa tektonik. Setelah itu, pada Ahad (23/12/2018) pukul 14.40 WIB, BMKG memastikan pusat getaran berada di Gunung Anak Krakatau dengan kedalaman 1 kilometer. Getaran akibat erupsi dan longsor Gunung Anak Krakatau setara dengan kekuatan 3,4 magnitudo. []
SUMBER: KUMPARAN