JALUR GAZA—Laporan WHO menyatakan izin rujukan ke rumah sakit di luar Gaza mencapai titik terendah pada 2017 sejak WHO melakukan pencatatan pada 2008.
“Ada penurunan tingkat persetujuan yang terus menerus sejak 2012, saat sekitar 93 persen permohonan disetujui,” kata WHO seperti dilaporkan kantor berita Palestina, WAFA, Rabu (7/2).
Dalam laporan bulanan tentang Akses Kesehatan bagi Pasien Rujukan dari Jalur Gaza, WHO mengungkapkan bahwa sekitar 85 persen pasien meninggal dunia saat menunggu izin dari aparat keamanan Israel untuk dirujuk ke rumah sakit di luar Jalur Gaza. Terutama penderita kanker dan penyakit lainnya yang memerlukan perawatan di luar Gaza.
Hanya 54 persen pasien yang meminta izin keluar Gaza dari pos pemeriksaan Israel Erez atau Beit Hanoun, Gaza Utara yang berhasil disetujui.
Pada Desember, 48 persen pasien mendapatkan izin keamanan dari Israel. Dari 2.170 pasien, hanya 52,4 persen yang disetujui, 2,6 persen ditolak, dan 45 persen ditunda, tanpa tanggapan pasti dari aparat Israel hingga tanggal rujukan rumah sakit.
Adapun interogasi terhadap pasien terjadi pada 11 pasien, tujuh pria dan empat wanita. Mereka diinterogasi oleh Badan Keamanan Umum Israel di Erez, Desember lalu. Lima di antaranya memperoleh izin untuk keluar dari Gaza guna mendapatkan perawatan kesehatan.
Publikasi laporan WHO terjadi di tengah krisis kemanusiaan di wilayah yang dikepung Israel tersebut. Aliran listrik padam, serta air bersih yang minim kian menambah penderitaan sekitar dua juta warga Gaza.
sistem kesehatan Gaza juga terancam lumpuh, dengan kekurangan 40 persen obat-obatan. Selain obat-obatan, rumah-rumah sakit juga kekurangan bahan bakar. Saat itu, menurut laporan WHO, nyawa 1.700 pasien terancam.
Hingga akhir Januari, sistem kesehatan masyarakat Gaza kekurangan 206 obat-obatan yang penting.
“Kekurangan obat-obatan termasuk yang paling dasar adalah fenomena yang terjadi bertahun-tahun di Gaza,” kata Ketua WHO wilayah Gaza Dr. Mahmoud Daher.
Direktur Rumah Sakit di Jalur Gaza Dr. Abdul Latif Al-Haj mengungkapkan dua bayi yang lahir prematur akhirnya meninggal dunia bulan lalu karena tidak cukup mendapat obat suntikan untuk mengobati pernafasan. []
SUMBER: WAFA | HAARETZ