MUSLIM terikat dengan kewajiban ibadah shalat. Dalam kondisi apapun, shalat harus ditegakkan, baik dalam keadaan sakit pun ketika terjadi bencana.
Kondisi banjir yang sedang melanda beberapa wilayah di Indonesia saat ini pun tidak menggugurkan kewajiban shalat tersebut. Muslim tetap harus menjalankannya. Lantas, bagaimana cara bersuci dan melaksanakan shalat dalam kondisi banjir ini?
BACA JUGA: Wudhu dengan Air Banjir, Bolehkah?
Islam sudah mengaturnya. Berbagai hadist dan pandangan ulama pun ada, dari mulai cara bersuci hingga pelaksanaan shalat ketika banjir melanda. Nah, menurut Direktur Rumah Fiqih Indonesia, Ustadz Ahmad Sarwat, berikut panduan wudhu dan shalat saat kondisi banjir tersebut:
1 Wudhu
Saat banjir melanda, ada kemungkinan jaringan listrik terputus yang mengakibatkan pompa air sumur tidak bisa berfungsi untuk menunjang kebutuhan wudhu. Dalam kondisi tersebut, tetap wudhu lebih diutamakan daripada tayyamum. Karena tayammum hanya dibolehkan saat seseorang tidak menemukan air sama sekali.
Allah berfirman dalam Alquran surat Al-Maidah ayat 6:
وَإِن كُنتُم مَّرْضَىٰٓ أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوْ جَآءَ أَحَدٌ مِّنكُم مِّنَ ٱلْغَآئِطِ أَوْ لَٰمَسْتُمُ ٱلنِّسَآءَ فَلَمْ تَجِدُوا۟ مَآءً فَتَيَمَّمُوا۟ صَعِيدًا طَيِّبًا فَٱمْسَحُوا۟ بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُم مِّنْهُ
“Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu.” (QS Al Maidah: 6)
Ustaz Ahmad Sarwat menjelaskan, air genangan banjir bisa digunakan untuk berwudhu atau bersuci sebelum shalat. Namun harus diperhatikan juga kondisi air banjir yang akan digunakan, seperti bau atau warnanya. Jika bau, hingga terlihat jelas ada najis seperti kotoran hewan atau manusia, maka tidak boleh digunakan.
Menurutnya, genangan air dari banjir dimungkinkan memiliki unsur najis. Kendati demikian, perlu dilihat perbandingan antara najis dan volume air tersebut.
“Namanya genangan air pasti ada najisnya, sungai juga pasti ada najisnya, danau juga, laut juga ada najisnya. Nah, sungai, danau, laut itu boleh kita gunakan karena jumlah volume airnya masih lebih banyak daripada jumlah najisnya. Kita bisa mengambil perbandingannya seperti itu,” jelasnya.
Warna cokelat pada air banjir dikatakannya tidak menghalangi seseorang untuk menggunakannya sebagai air wudhu. Karena tanah bukan termasuk benda najis dalam Islam.
Ustadz Ahmad juga mengatakan, air putih untuk minum juga bisa digunakan untuk wudhu. Pemakaiannya untuk wudhu bisa dihemat agar persediaan air minum tidak banyak terkuras.
“Akan ada yang bilang kalau air minum kan terbatas, jadi sayang kalau buat wudhu. Nah, berwudhu itu kan nggak perlu banyak banyak jumlah airnya, bisa juga pakai sprayer supaya lebih hemat dan dipakaikan ke anggota tubuh yang wajib dalam wudhu,” katanya.
2 Pakaian
Banyak korban banjir yang tidak bisa membawa pakaian karena terburu-buru untuk menyelamatkan diri. Kondisi ini membuat banyak korban kesulitan memakai pakaian yang baik untuk shalat.
Dalam kondisi ini, seseorang bisa tetap mengenakan pakaian yang telah dikenakannya. Bau keringat atau tanah hingga lumpur yang menempel di pakaian dikatakan Ustadz Ahmad tidak membatalkan shalat.
“Kalau dia cium bau bajunya itu bau septic tank, itu baru najis, nggak boleh dipakai. Tapi kalau cuman dekil, kumel, dan sebagainya selama tidak najis maka tidak jadi masalah,” ujarnya.
BACA JUGA: Cara Bersuci saat Banjir
3 Tempat
Menurut Ustadz Ahmad, saat air menggenang, maka harus berupaya menemukan tempat atau benda yang bisa dijadikan pijakan seperti meja atau bangku panjang sehingga tidak tenggelam saat melakukan sujud. Seseorang juga harus berupaya agar melakukan rukun-rukun sholat seperti rukun menghadap kiblat.
“Karena kan sholat fardu, bukan shalat sunnah yang kalau nggak menghadap kiblat nggak apa-apa. Kalau shalat fardhu syarat dan rukun harus terpenuhi,” jelasnya.
4 Teknis
Kondisi terdesak saat banjir mungkin akan membuat seorang Muslim kesulitan untuk shalat tepat waktu. Maka, diperkenankan bagi para korban untuk menjamak shalat fardhu.
“Tapi kondisi ini tidak boleh diqashar, karena kalau qashar hanya berlaku untuk musafir,” terangnya.
Kondisi terdesak saat banjir juga memungkinkan seseorang untuk mengganti sholatnya di waktu yang lain. Saat kondisi sudah aman dan memungkinkan dia melakukan shalat.
“Misalnya sudah kejadian (terlewat beberapa sholat) yang penting nanti diganti, boleh kapan saja. Yang penting diganti, jangan sampai sudah terlewat dicuekin saja, jangan sampai kayak gitu,” tuturnya. []
SUMBER: RUMAH FIKIH