PUASA disyariatkan kepada umat Islam. Namun, ternyata ibadah yang satu ini juga tak asing bagi nonmuslim. Umat Nasrani dan Yahudi juga mengenal syariat puasa.
Bagaimana puasa dalam ajaran mereka dan apa perbedaannya dengan puasa dalam syariat Islam? Berikut ini penjelasannya.
Kristen katholik, sekte dan pecahan dari agama nasrani yang mengalami banyak distorsi dalam ritual ibadah, mewajibkan penganutnya untuk berpuasa pada hari tertentu, tetapi bentuknya macam-macam. Salah satunya berpuasa tidak memakan daging dalam sehari. Ada juga yang berpuasa tidak makan apa-apa kecuali minum air.
BACA JUGA: Muslim yang Meninggalkan Puasa Terang-terangan, Apa Hukumnya?
Ketentuan puasa itu ditetapkan oleh pemuka agama mereka. Pada tahun 1966, Paus Paul VI menukar peraturan ketat berpuasa dalam agama Katolik Kristian. Dia menentukan aturan puasa bergantung kepada situasi ekonomi setempat, dan semua penganut Katholik berpuasa secara sukarela.
Di Amerika Serikat, hanya terdapat dua hari yang wajib berpuasa, yaitu Rabu Ash dan Good Friday. Dan hari Jumat Lent adalah hari menahan diri dari memakan daging.
Penganut Roman Katholik juga diwajibkan mematuhi Puasa Eukaris yang bermakna tidak mengambil apa-apa melainkan minum air atau obat selama sejam sebelum Eukaris (Holy Communion).
Amalan pada masa dulu adalah berpuasa dari tengah malam sehingga pada hari upacara tersebut tetapi karena upacara pada waktu tengah hari menjadi kebiasaan, berpuasa untuk ini diubah kepada berpuasa selama tiga jam. Peraturan terkini menetapkan bahwa berpuasa hanya selama sejam, walaupun begitu beberapa penganut Katolik masih mematuhi peraturan lama.
Sedangkan puasa bagi umat Yahudi bermakna menahankan diri keseluruhannya dari makanan dan minuman, termasuk dari meminum air. Menggosok gigi diharamkan pada puasa hari besar Yom Kippur dan Tisha B’Av, tetapi dibenarkan pada puasa hari kecil.
Dalam teknis puasa mereka juga disebutkan bahwa memakan obat pada umumnya tidak dibenarkan, kecuali bila ada rekomendasi dari dokter. Umat Yahudi yang mengamalkan ritual ini, berpuasa sampai enam hari dalam satu tahun.
Dari penjelasan di atas dapat diketahui beberapa perbedaan syariat puasa dalam Islam dengan puasa yang dilakukan nonmuslim dalam ajarannya.
Tata cara puasa dalam Islam mempunyai rujukan baik waktu, teknis, aturan dan segala detailnya, yaitu apa yang ditetapkan oleh Allah dan Rasulullah SAW. Bentuk puasa muslim itu sangat spesifik, unik dan khusus.
Perbedaan yang paling terasa antara puasa yang disyariatkan kepada umat Nabi Muhammad SAW dengan puasa-puasa yang disyariatkan kepada umat terdahulu adalah dari segi keringanannya.
Di dalam rangkaian ayat tentang kewajiban puasa di bulan Ramadhan, Allah SWT telah menegaskan bahwa Dia mengiginkan kemudahan bagi kita dalam puasa ini.
“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (QS. Al-Baqarah : 185)
Selain itu juga puasa yang disyariatkan buat kita ini dipenuhi dengan berbagai macam rukhshah atau keringanan. Misalnya, orang yang sakit, musafir dan orang yang tidak mampu, dibolehkan tidak puasa, walau pun nanti wajib mengganti baik dengan qadha’ atau dengan membayar fidyah.
Dan salah satu bentuk keringanan puasa buat umat Nabi Muhammad SAW adalah diharamkannya puasa wishal, yaitu puasa terus menerus tanpa berbuka dan sahur. Puasa itu memang dibolehkan bagi beliau SAW, karena beliau mendapat makanan dari Allah SWT. Namun bagi umatnya, puasa dengan cara menyakiti diri seperti itu termasuk haram hukumnya.
Rasulullah SAW melarang para shahabat berpuasa wishal sebagai bentuk kasih sayang kepada mereka. Para shahabat bertanya, “Anda sendiri berpuasa wishal?”. Beliau SAW menjawab, “Aku tidak seperti kalian. Sesungguhnya Allah memberiku makan dan minum”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Disamping itu, dibandingkan dengan jumlah hari yang Allah SWT tetapkan buat umat lain, puasa yang diwajibkan buat kita sebagai umat Nabi Muhammad SAW jumlahnya hanya sedikit. Hal itu terungkap ketika Allah SWT berfirman :
“Hanya dalam beberapa hari yang tertentu.” (QS. Al-Baqarah : 184)
Umat Rasulullah SAW ini hanya diwajibkan puasa di bulan Ramadhan saja, sementara sebelas bulan lainnya tidak wajib. Tentu cara seperti ini jauh lebih ringan dari puasa yang Allah SWT wajibkan kepada Nabi Daud alaihissalam dan umatnya.
Meski pun mereka diwajibkan puasa berselang-seling sehari puasa dan sehari tidak, namun mereka diwajibkan berpuasa sepanjang tahun seumur hidup.
Perbedaan yang lainnya adalah disyariatkannya makan sahur sesaat sebelum dimulainya puasa.
Meski pun makan sahur itu hukumnya sunnah, namun secara tegas Rasulullah SAW menyebutkan bahwa makan sahur itu adalah hal yang membedakan antara puasa kita dengan puasa orang-orang terdahulu, khususnya agama ahli kitab, baik nasrani maupun yahudi.
Rasulullah SAW menyebutkan dalam sabdanya, “Yang membedakan antara puasa kita dan puasa ahli kitab adalah makan sahur.” (HR. Muslim)
Dari hadits ini diketahui, umat-umat lain itu meski diwajibkan berpuasa, tetapi mereka tidak disyariatkan untuk melaksanakan makan sahur.
BACA JUGA: Begini Syariat Puasa sebelum Masa Nabi Muhammad SAW
Dan pada kenyataannya, hikmah dari makan sahur itu akhirnya akan dirasakan sendiri oleh kita sebagai umat Muhammad SAW, yaitu puasa kita menjadi lebih kuat. Sebagaimana sabda beliau, “Mintalah bantuan dengan menyantap makan sahur agar kuat puasa di siang hari. Dan mintalah bantuan dengan tidur sejenak siang agar kuat shalat malam.” (HR. Ibnu Majah). []
SUMBER: RUMAH FIQIH