AMSTERDAM–Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mengatakan bahwa kehadiran Pancasila sebagai dasar negara dalam sebuah negara yang mayoritas penduduknya Muslim adalah salah satu bentuk unik dari ekspresi keberislaman yang berkembang di Indonesia yang kemudian disebut Islam Nusantara.
Hal ini disampaikan Menag melalui sambutan yang dibacakan Dirjen Pendidikan Islam pada The 1st Biennial International Conference on Moderat Islam In Indonesia di Vrije Universiteit, Amsterdam Belanda, dilaporkan Kemenag, Senin (27/03/2017).
Konferensi internasional ini mengangkat tema “Rethinking Indonesias Islam Nusantara: From Local Relevance to Global Significance“.
“Ini hanya terjadi di Indonesia. Malaysia, Brunei, Pakistan, Irak, Mesir tak memiliki dasar negara yang dapat menyatukan semua warganya termasuk yang non-muslim,” ujarnya.
“Mayoritas umat Islam Indonesia yang tercermin melalui pendapat NU dan Muhammadiyah menerima Pancasila sebagai dasar negara. Bagi mereka, tidak ada alasan yang prinsip dan meyakinkan untuk menolak Pancasila,” tambahnya.
Dikatakan Menag, NU dan Muhammadiyah menerima Pancasila bukan tanpa alasan. Bagi mereka, Pancasila telah terbukti memberi solusi ketika Indonesia berkali-kali dilanda potensi disintegrasi. Pancasila bisa menjadi titik temu antara kubu sekuler dan umat Islam.
Tokoh-tokoh NU mengakui kreatifitas para pendiri bangsa ini dalam merumuskan Indonesia sebagai negara yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Tapi, tafsir dan pengertian ketuhanan itu diserahkan kepada masing-masing agama.
Mengutip pidato Soekarno pada 1 Juni 1945, Menag mengatakan: “Bukan saja bangsa Indonesia ber-Tuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya ber-Tuhan. Tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa Al-Masih; yang Islam menurut petunjuk Nabi Muhammad Saw.; orang Buddha menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya. Tetapi, marilah kita semuanya ber-Tuhan. Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada egoisme agama. Dan hendaknya Negara Indonesia satu negara yang bertuhan.”
Acara yang dibuka pada Senin (27/03/2017) pagi ini, dihadiri tidak kurang dari 300 peserta. Mereka adalah para akademisi studi Islam dan Indonesia dari sejumlah universitas di Belanda, Belgia, Jerman, Italia, Libanon, Saudi Arabia, dan Malaysia. Selain itu, ada juga para mahasiswa dan diplomat Indonesia dari sejumlah negara Eropa.
Tampak hadir juga sejumlah Duta Besar, antara lain, Husnan Bey Fanani (Azerbaijan), Agus Maftuh Abigebriel (Saudi Arabia), dan Safira Mahrusah (Aljazair).
Konferensi ini akan berlangsung hingga 29 Maret mendatang. Sejumlah narasumber yang hadir antara lain: Dirjen Pendidikan Islam Kamaruddin Amin, Staf Khusus Menteri Agama Hadi Rahman, Intelektual NU Ahmad Baso, dan Indonesianis yang juga Guru Besar Utrecht University Karel Steenbrink.
“Mudah-mudahan konferensi internasional ini menghasilkan rumusan kesepakatan yang semakin memperkaya kita dan meningkatkan kualitas keberagamaan kita di masa-masa mendatang,” harap Menag. []