SEBAGAI umat Muslim, tentu kita menyadari betul bahwa tidak ada satupun lini kehidupan ini yang luput dari pembahasan Islam. Termasuk salah satunya ilmu warisa atau ilmu faraidh.
Dalam ayat-ayat Mawaris, Allah menjelaskan bagian setiap ahli waris yang berhak mendapatkan warisan, menunjukkan bagian warisan dan syarat-syaratnya menjelaskan keadaan-keadaan dimana manusia mendapat warisan dan dimana ia tidak memperolehnya.
Selain itu dijelaskan pula kapan ia mendapat warisan dengan penetapan atau menjadi ashobah (menunggu sisa atau mendapat seluruhnya) atau dengan kedua-duanya sekaligus dan kapan ia terhalang untuk mendapatkan warisan sebagian dan seluruhnya.
BACA JUGA: Umat Islam yang Berilmu Adalah Pewaris Para Nabi
Begitu besar derajat Ilmu Faraidh bagi umat Islam sehingga oleh sebagian besar ulama dikatakan sebagai separoh Ilmu.
Hal ini didasarkan kepada hadis Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Ahmad, Nasa’i dan Daru Quthni: “Pelajarilah Al-Qur’an dan ajarkanlah kepada orang-orang, pelajarilah ilmu faraidh dan ajarkanlah ilmu itu kepada orang-orang, karena aku adalah manusia yang akan direnggut (wafat), sesungguhnya ilmu itu akan dicabut dan akan timbul fitnah hingga kelak ada dua orang berselisihan mengenai pembagian warisan, namun tidak ada orang yang memutuskan perkara mereka.”
Hadits ini menempatkan perintah mempelajari dan mengajarkan ilmu faraidh sejalan dengan perintah mempelajari dan mengajarkan Al-Qur’an. Ini tidak lain menunjukkan bahwa ilmu faraidh merupakan cabang ilmu yang cukup penting dalam rangka mewujudkan keadilan dalam masyarakat.
Lagipula tidak jarang naluriah menusia cenderung materialistik, serakah, tidak adil, dan mengorbankan kepentingan orang lain demi memenangkan hak-haknya sendiri. Maka disinilah letak pentingnya kegunaan ilmu mawaris, hingga wajib dipelajari dan diajarkan. Agar di dalam pembagian warisan, setiap orang mentaati ketentuan yang telah diatur dalam al-Qur’an secara detail.
Hadis tersebut juga menunjukkan bahwa Rasulullah SAW memerintahkan kepada umat Islam untuk mempelajari dan mengajarkan ilmu faraidh, agar tidak terjadi perselisihan-perselisihan dalam pembagian harta peninggalan, disebabkan ketiadaan ulama faraidh.
Perintah tersebut mengandung perintah wajib. Kewajiban mempelajari dan mengajarkan ilmu itu gugur apabila ada sebagian orang yang telah melaksanakannya. Jika tidak ada seorang pun yang melaksanakannya, maka seluruh umat Islam menanggung dosa, disebabkan melalaikan suatu kewajiban.
Selain hadits di atas, di bawah ini juga beberapa hadits Nabi SAW yang menjelaskan beberapa keutamaan dan anjuran untuk memelajari dan mengajarkan ilmu faraidh:
Abdullah bin Amr bin al-Ash ra. berkata bahwa Nabi SAW bersabda, “Ilmu itu ada tiga, selain yang tiga hanya bersifat tambahan (sekunder), yaitu ayat-ayat muhakkamah (yang jelas ketentuannya), sunnah Nabi saw. yang dilaksanakan, dan ilmu faraidh,” (HR Ibnu Majah)
Abu Hurairah r.a. berkata bahwa Nabi saw. bersabda, “Pelajarilah ilmu faraidh serta ajarkanlah kepada orang lain, karena sesungguhnya, ilmu faraidh setengahnya ilmu; ia akan dilupakan, dan ia ilmu pertama yang akan diangkat dari umatku,” (HR Ibnu Majah dan ad-Darquthni)
BACA JUGA: 3 Warisan Ilmuwan Muslim yang Bermanfaat Bagi Dunia
Dalam riwayat lain disebutkan, “Pelajarilah ilmu faraidh, karena ia termasuk bagian dari agamamu dan setengah dari ilmu. Ilmu ini adalah yang pertama kali akan dicabut dari umatku,” (HR Ibnu Majah, al-Hakim, dan Baihaqi)
Karena pentingnya ilmu faraidh, para ulama sangat memperhatikan ilmu ini, sehingga mereka seringkali menghabiskan sebagian waktu mereka untuk menelaah, mengajarkan, menuliskan kaidah-kaidah ilmu faraidh, serta mengarang beberapa buku tentang faraidh. Mereka melakukan hal ini karena anjuran Rasulullah SAW di atas.
Umar bin Khattab telah berkata, “Pelajarilah ilmu faraidh, karena ia sesungguhnya termasuk bagian dari agama kalian.” Kemudian Amirul Mu’minin berkata lagi, “Jika kalian berbicara, bicaralah dengan ilmu faraidh, dan jika kalian bermain-main, bermain-mainlah dengan satu lemparan.” Kemudian Amirul Mu’minin berkata kembali, “Pelajarilah ilmu faraidh, ilmu nahwu, dan ilmu hadits sebagaimana kalian mempelajari Al-Qur’an.”
Ibnu Abbas ra. berkomentar tentang ayat Al-Qur’an yang berbunyi, “Jika kamu (hai para muslimin) tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah, niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar,” (Al-Anfaal – 73), menurut beliau makna ayat di atas adalah jika kita tidak melaksanakan pembagian harta waris sesuai yang diperintahkan Allah swt. kepada kita, niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar.
Abu Musa al-Asy’ari ra. berkata, “Perumpamaan orang yang membaca Al-Qur’an dan tidak cakap (pandai) di dalam ilmu faraidh, adalah seperti mantel yang tidak bertudung kepala.”
Demikianlah, ilmu faraidh merupakan pengetahuan dan kajian para sahabat dan orang-orang shaleh dahulu, sehingga menjadi jelas bahwasanya ilmu faraidh termasuk ilmu yang mulia dan perkara-perkara yang penting di mana sandaran utama ilmu ini ialah dari Al-Qur’an dan sunnah Rasul-Nya.
Masalah harta peninggalan biasanya menjadi sumber sengketa dalam keluarga. Terutama apabila menentukan siapa yang berhak dan siapa yang tidak berhak menerima. Dan juga seberapa banyak haknya. Hal ini mnimbulkan perselisihan dan akhirnya menimbulkan keretakan kekeluargaan. Orang ingin berlaku seadil-adilnya, tetepi belum tentu orang lain menganggap adil.
Oleh karena itu, didalam Islam memberikan ketentuan-ketentuan yang konkret mengenai hak waris. Sehingga apabila dilandasi ketaqwaan kepada Allah SWT semuanya akan berjalan lancar dan tidak akan menimbulkan sengketa, bahkan kerukunan keluargapun akan tercapai.
Ketentuan dari Allah SWT itu sudah pasti. Bagian-bagian dari siapa yang mendapatkan sudah ditentukan . Semua kebijaksanaan dalam hal ini adalah dari Allah SWT. Disamping itu, adalah kewajiban umat Islam untuk mengetahui ketentuan-ketentuan yang telah diberikan oleh Allah SWT.
BACA JUGA: Ilmu Bisa Datangkan Keberkahan dan Kesengsaraan, Kok Bisa?
Nabi Muhammad SAW bersabda: “Bagilah harta benda diantara ahli-ahli waris menurut Kitabullah,” (HR. Muslim Dan Abu Dawud).
Di samping itu Allah berfirman: “Dan siapa yang melanggar Allah dan Rosul-Nya melampaui batas ketentuannya, Allah akan memasukannya kedalam api neraka, ia kekal di situ, dan iapun mendapatkan siksa yang menghinakan,” (QS. An-Nisa : 14).
Dengan demikian semuanya termasuk apabila terdapat perselisihan, di kembalikan kepada Allah SWT dan Rasul-Nya. Sehingga tidak ada celah-celah untuk saling sengketa dan bertengkar. Dan karena itu kekeluargaan dan hubungan tetap terbina dengan baik serta rukun dan tenteram. []
SUMBER: HALAQAH.NET | HARISWANDI.WORDPRESS