ALKISAH, seorang santri tengah bercakap-cakap dengan Gus Dur, ia banyak membahas soal agama, tak luput soal Nabi Adam.
“Ini semua gara-gara Nabi Adam, ya Gus?” Tanya seorang santri pada Gus Dur.
“Loh, kok tiba-tiba menyalahkan Nabi Adam, kenapa Kang?” ujar Gus Dur balik bertanya.
“Lah iya, Gus. Gara-gara Nabi Adam dulu makan buah terlarang, kita sekarang merana. Kalau Nabi Adam dulu enggak tergoda Iblis kan kita anak cucunya ini tetap di surga. Enggak kayak sekarang, sudah tinggal di bumi, eh ditakdirkan hidup di negara terkorup, sudah begitu jadi orang miskin pula. Emang seenak apa sih rasanya buah itu, Gus?”
“Ya tidak tahulah, saya kan juga belum pernah nyicip. Tapi ini sih bukan soal rasa. Ini soal khasiatnya.”
“Kayak obat kuat aja pake khasiat segala. Emang Iblis bilang khasiatnya apa sih, Gus? Kok Nabi Adam bisa sampai tergoda?”
“Iblis bilang, kalau makan buah itu katanya bisa menjadikan Nabi Adam abadi.” “Iya. Pokoknya kekal,” lanjut Gus Dur.
“Terus Nabi Adam percaya, Gus? Sayang, iblis kok dipercaya.”
“Lho, Iblis itu kan seniornya Nabi Adam.”
“Maksudnya senior apa, Gus?”
“Iblis kan lebih dulu tinggal di surga dari pada Nabi Adam dan Siti Hawa.”
“Iblis tinggal di surga? Masak sih, Gus?”
“Iblis itu dulunya juga penghuni surga, terus di usir, lantas untuk menggoda Nabi Adam, iblis menyelundup naik ke surga lagi dengan berserupa ular dan mengelabui merak sang burung surga, jadi iblis bisa membisik dan menggoda Nabi Adam.”
“Oh iya, ya. Tapi, walau pun Iblis yang bisikin, tetap saja Nabi Adam yang salah. Gara–garanya, aku jadi miskin kayak gini.”
“Kamu salah lagi, Kang. Manusia itu tidak diciptakan untuk menjadi penduduk surga. Baca surat Al-Baqarah: 30. Sejak awal sebelum Nabi Adam lahir… eh, sebelum Nabi Adam diciptakan, Tuhan sudah berfirman ke para malaikat kalo Dia mau menciptakan manusia yang menjadi khalifah (wakil Tuhan) di bumi.”
“Lah, tapi kan Nabi Adam dan Siti Hawa tinggal di surga?”
“Iya, sempat, tapi itu cuma transit. Makan buah terlarang atau tidak, cepat atau lambat, Nabi Adam pasti juga akan diturunkan ke bumi untuk menjalankan tugas dari-Nya, yaitu memakmurkan bumi. Di surga itu masa persiapan, penggemblengan. Di sana Tuhan mengajari Nabi Adam bahasa, kasih tahu semua nama benda. (lihat Al- Baqarah : 31).”
“Jadi di surga itu cuma sekolah gitu, Gus?”
“Kurang lebihnya seperti itu. Waktu di surga, Nabi Adam justru belum jadi khalifah. Jadi khalifah itu baru setelah beliau turun ke bumi.”
“Aneh,” ujar santri itu mempertanyakan.
“Kok aneh? Apanya yang aneh?”
“Ya aneh, menyandang tugas wakil Tuhan kok setelah Nabi Adam gagal, setelah tidak lulus ujian, termakan godaan Iblis? Pendosa kok jadi wakil Tuhan.”
“Lho, justru itu intinya. Kemuliaan manusia itu tidak diukur dari apakah dia bersih dari kesalahan atau tidak. Yang penting itu bukan melakukan kesalahan atau tidak melakukannya. Tapi bagaimana bereaksi terhadap kesalahan yang kita lakukan. Manusia itu pasti pernah keliru dan salah, Tuhan tahu itu. Tapi meski demikian nyatanya Allah memilih Nabi Adam, bukan malaikat.”
“Jadi, tidak apa-apa kita bikin kesalahan, gitu ya, Gus?”
“Ya tidak seperti itu juga. Kita tidak bisa minta orang untuk tidak melakukan kesalahan. Kita cuma bisa minta mereka untuk berusaha tidak melakukan kesalahan. Namanya usaha, kadang berhasil, kadang enggak.”
“Lalu Nabi Adam berhasil atau tidak, Gus?”
“Dua-duanya.”
“Kok dua-duanya?”
“Nabi Adam dan Siti Hawa melanggar aturan, itu artinya gagal. Tapi mereka berdua kemudian menyesal dan minta ampun. Penyesalan dan mau mengakui kesalahan, serta menerima konsekuensinya (dilempar dari surga), adalah keberhasilan.”
“Ya kalo cuma gitu semua orang bisa. Sesal kemudian tidak berguna, Gus.”
“Siapa bilang? Tentu saja berguna dong. Karena menyesal, Nabi Adam dan Siti Hawa dapat pertobatan dari Tuhan dan dijadikan khalifah (lihat Al-Baqarah: 37). Bandingkan dengan Iblis, meski sama-sama diusir dari surga, tapi karena tidak tobat, dia terkutuk sampe hari kiamat.”
“Ooh…”
“Jadi intinya begitulah. Melakukan kesalahan itu manusiawi. Yang tidak manusiawi, ya yang iblisi itu kalau sudah salah tapi tidak mau mengakui kesalahannya justru malah merasa bener sendiri, sehingga menjadi sombong.”
“Jadi kesalahan terbesar Iblis itu apa, Gus? Tidak mengakui Tuhan?”
“Iblis bukan atheis, dia justru monotheis. Percaya Tuhan yang satu.”
“Masa sih, Gus?”
“Lho, kan dia pernah ketemu Tuhan, pernah dialog segala kok.”
“Terus, kesalahan terbesar dia apa?”
“Sombong, menyepelekan orang lain dan memonopoli kebenaran.”
“Wah, persis cucunya Nabi Adam juga tuh.”
“Siapa? Ente?” tuding Gus Dur.
“Bukan. Cucu Nabi Adam yang lain, Gus. Mereka mengaku yang paling bener, paling sunnah, paling ahli surga. Kalo ada orang lain berbeda pendapat akan mereka serang. Mereka tuduh kafir, ahli bid’ah, ahli neraka. Orang lain disepelekan. Mereka mau orang lain menghormati mereka, tapi mereka tidak mau menghormati orang lain. Kalau sudah marah nih, Gus. Orang-orang ditonjokin, barang-barang orang lain dirusak. Setelah itu mereka bilang kalau mereka pejuang kebenaran. Bahkan ada yang sampe ngebom segala loh.”
“Wah, persis Iblis tuh.”
“Tapi mereka siap mati, Gus. Karena kalo mereka mati nanti masuk surga katanya.”
“Siap mati, tapi tidak siap hidup.”
“Bedanya apa, Gus?”
“Orang yang tidak siap hidup itu berarti tidak siap menjalankan agama.”
“Lho, kok begitu?”
“Nabi Adam dikasih agama oleh Tuhan kan waktu diturunkan ke bumi (lihat Al- Baqarah: 37). Bukan waktu di surga.”
“Jadi, artinya, agama itu untuk bekal hidup, bukan bekal mati?”
“Pinter kamu, Kang!” tutup Gus Dur. []
Note: Dari beberapa sumber yang kami kutip, beberapa mencantumkan nama Gus Dur sebagai Gus yang dimaksud, namun di sumber lainnya ada yang menuliskan itu adalah Gus Mus.