MENJELANG kematiannya, Khalifah Muawiyah bin Abu Sufyan berkata, “Dudukkanlah aku!”
Orang-orang pun membantunya untuk duduk.
Mulailah dia bertasbih dan berdzikir menyebut nama Allah, lalu menangis. Dia kemudian berkata, “Kamu baru mengingat Tuhanmu, hai Muawiyah, setelah tua dan kemampuanmu menurun? Padahal, dulu ini tubuh pemuda yang mekar dan harum semerbak!”
Dia pun menangis sejadi-jadinya, lalu berkata, “Wahai Tuhanku, kasihanilah orang tua yang pembangkang ini, yang berhati keras ini. Ya Allah, maafkanlah ketersandunganku dan ampunilah ketergelinciranku. Jenguklah dengan kelembutan-Mu, orang yang hanya berharap pada-Mu dan hanya percaya pada-Mu.”
BACA JUGA:Â Ketika Muawiyah Ditanya soal Ini Oleh Kaisar Romawi
Diriwayatkan bahwa salah seorang sesepuh Quraisy menjenguk Muaiwiyah bersama rombongannya. Nampak kulit sang khalifah pecah-pecah.
Muawiyah mengucapkan puja dan puji kepada Allah lalu berkata, “Apakah dunia ini lebih dari sekadar apa yang telah kita rasakan dan telah kita lihat?”
“Ketahuilah, demi Allah, kita telah menerima mekar bunganya dengan senang hati dan dengan menikmati hidup kita, kemudian kita tinggal di dunia untuk menyaksikan kemunduran semua itu, kondisi demi kondisi, sedikit demi sedikit lantas dunia menimpakan keburukan kepada kita, kita pun menjadi seperti pakaian usang akibatnya. Dunia pun mengangkat senjata menyerang kita. Ah, dasar! Dunia memang negeri yang buruk. Dunia memang negeri yang buruk!” tegasnya.
Sebelum meninggal, khalifah yang merupakan pendiri dinasti Ummayah itu sempat menyampaikan pidato terakhirnya. Berikut ini isi pidato tersebut:
“Wahai manusia! Aku adalah tanaman pertanian yang telah dipanen. Aku sudah selesai memerintah kalian, dan siapapun yang menjadi penggantiku pasti dia jauh lebih buruk daripada diriku sebagaimana khalifah sebelumku jauh lebih baik dari pada diriku.
Hai Yazid (putraku)! Apabila ajalku tiba, suruhlah seorang yang pria bijaksana untuk memandikan jenazahku karena orang yang bijaksana memiliki kedudukan di sisi Allah. Dan hendaklah dia memandikan jenazahku dengan lembut serta mengucapkan takbir dengan lantang. Kemudian gunakanlah saputangan untuk mengambil pakaian Nabi SAW dan beberapa helai rambutnya serta potongan kukunya (yang kusimpan) di lemari. Letakanlah helaian rambutnya apda hidung, mulut, dan mataku serta bungkuslah kulitku dengan pakaiannya sebelum kain kafanku.
Hai Yazid (putraku), camkanlah bahwa pesan Allah yang dititipkan pada kedua orang tua! Apabila kalian telah menurunkanku ke liang kuburku, maka pergilah segera! Biarkanlah Muawiyah bersama yang Paling Penyayang di antara yang Penyayang.”
Muhammad ibn Uqbah menuturkan, “Ketika maut menjemput Muawiyah, dia berkata, ‘Aduh, seandainya dulu aku hanyalah pria Quraisy yang tinggal di Dzu Thuwa (sebuah tempat di negeri Syam) dan seandainya aku sama sekali tidak pernah mengemban jabatan ini.'”
BACA JUGA:Â Peristiwa Karbala, Ini Kronologinya
Muawiyah bin Abu Sufyan menduduki kursi kekhalifahan setelah Ali bin Abi Thalib. Dia berkuasa pada tahun 661 sampai 680.
Muawiyah bin Abu Sufyan adalah salah satu sahabat Nabi yang juga merupakan saudara tiri dari Ummu Habibah Ramlah, istri Nabi Muhammad SAW.
Secara kepribadian, Muawiyah termasuk Muslim yang saleh dan menjaga ibadahnya meski dia memimpin kekhalifahan yang wilayahnya sudah sangat luas.
Muawiyah disorot karena perselisihannya dengan ‘Ali bin Abi Thalib juga penunjukkan putranya sebagai khalifah pengganti dirinya yang secara tidak langsung membangun sistem dinasti Islam pertama. Kebijakan dan sepak terjangnya itu menjadikan Muawiyah sebagai sosok yang kontroversial dalam sejarah Islam. []
Referensi: Bekal Menggapai Kematian yang Husnul Khatimah/Karya:Â Syekh Majdi Muhammad asy-Syahawi/Penerbit: Gramedi/Tahun: 2019