SEBAGAI seorang muslim, kita tentu tahu jika Islam telah mengajarkan kepada umatnya untuk saling menasehati dalam kebaikan. Selain itu, Islam juga mengajarkan kepada kita agar memiliki kepedulian yang tinggi terhadap lingkungan masyarakat.
Sebabnya, karena kondisi lingkungan masyarakat adalah salah satu faktor yang paling berpengaruh terhadap pembentukkan kepribadian kita. Bisa kita simpulkan, jika Islam telah mensyariatkan dakwah sebagai suatu hal yang wajib di masyarakat.
Perumpamaan suatu kaum ada yang tegak pada hukum, ada pula yang tergelincir. Bagaikan rombongan musafir menaiki kapal di atas air. Mereka ada yang di atas tempatnya. Pula ada yang di bawah tinggalnya.
BACA JUGA: Hukum Shalat Qashar pada Safar dalam Rangka Maksiat
Suatu kali, orang bawah berniat melubangi dinding peruhu seperti perigi. Supaya air didapat mudah sekali, maupun buang sesuatu tanpa antri.
Ada di antara mereka berkata, “Biarkan saja mereka berbuat sesuka, toh, itu bagiannya.”
Ada pula yang berkata, “Janganlah dibiarkan ia melubangi kapal ini, niscaya ia akan binasa dan binasa pula kita.”
Bila mereka dapat menahannya selamatlah semua. Bila mereka tak mencegahnya, binasalah semua.
Inilah perumpamaan suatu masyarakat apabila dakwah tidak dilakukan. Orang tidak saling mengingatkan apabila saudarnya melakukan kesalahan. Dalam masyarakat Islam dakwah adalah suatu hal yang wajib. Baik bagi individu, kelompok masyarakat maupun negara. Apabila dakwah tidak ada, masyarakat bakal rusak.
Seseorang tidak bisa cuek terhadap lingkungan tempat tinggalnya. Apalagi jika masyarakatnya rusak. Meskipun dirinya beribadah dengan tekun namun jika sekelilingnya bermoral bejat dan dia tidak berusaha memperbaiki maka dia akan terimbas rusaknya moral.
Dalam Islam masyarakat adalah satu kesatuan. Mereka satu pikiran satu hati. Berbeda dengan masyarakat barat yang individual. Nafsi nafsi alias lu lu gua gua.
Mereka tidak peduli tetangganya pezina atau pejudi. Yang penting aktivitasnya tidak menggangu dirinya. Dua orang yang berzina di muka umum tidak akan ditangkap atau diapa-apakan, kecuali membuat macet akibat banyak yang menonton. Perbuatan zinanya bukan termasuk kesalahan sehingga dibiarkan.
Menurut Islam, seseorang yang melakukan maksiat terutama secara terang-terangan sama saja dengan sedang melubangi dasar kapal. Badan kapal terutama bagian bawah yang menyentuh air bagaikan tatanan hukum dan norma yang berlaku. Jika dirusak, maka akan bocorlah kapal sehingga seluruh kapal tenggelam.
Seorang muslim mestinya apabila melihat kemungkaran ia harus segera mencegah. Ia takut dirinya juga akan terjerumus ke dalam lembah nista.
Kenistaan yang akan didapat bisa saja berupa persepsi masyarakat bahwa dirinya termasuk juga orang yang berbuat mungkar. Jika di suatu kampung terkenal dengan sarang penyamunnya, kita yang berasal dari kampung itu pasti akan disangka penyamun juga.
BACA JUGA: Lakukan Maksiat; Pilihan Atau Takdir?
Yang paling kita takutkan adalah tenggelamnya kapal. Ketika kemungkaran sudah demikian marak, artinya dasar kapal sudah berlobang, kapal akan karam ditenggelamkan oleh Allah SWT. Tidak peduli di dalamnya ada orang yang melubangi atau mereka yang cuek.
Atau juga ada orang yang sudah berusaha memperingatkan tapi usahanya kurang kuat sehingga mereka yang melobangi lebih berkuasa. Dalam suatu kesempatan Allah SWT akan memberikan bencana di mana tidak saja menimpa orang yang bermaksiat tapi orang-orang yang baik juga akan terkena.
Ingatlah firman Allah SWT, “Dan peliharalah dirimu dari pada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah SWT amat keras siksaan-Nya,”(QS. Al-Anfal: 25).
Ketika itulah kapal tenggelam. Menenggelamkan semua penumpang. Tak peduli mereka yang berbuat zalim, tak peduli mereka yang berbuat kebaikan. []
Sumber: Hikmah dari Langit/Ust. Yusuf Mansur & Budi Handrianto/Penerbit: Pena Pundi Aksara/2007