ADAKALANYA rezeki yang kita peroleh dengan kerja bersusah-payah, memeras keringat, banting-tulang justru harus dibagi dengan anak-istri atau sodara. Bahkan, malah kadang raib entah kemana. Bisa karena dicuri, rusak atau hilang.
Jika demikian, apakah itu termasuk rezeki?
Nah, untuk bisa memahami hakikat rezeki, perlu dipahami dulu tentang prinsip rezeki itu sendiri. Apa asaja? Berikut ini lamjutan pemjelasannya:
Ketiga, hakekat dari rezeki kita adalah apa yang kita konsumsi dan yang kita manfaatkan. Sementara yang kita kumpulkan belum tentu menjadi jatah rezeki kita.
Dalam hadis dari Abdullah bin Sikhir radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Manusia selalu mengatakan, ‘Hartaku… hartaku…’ padahal hakekat dari hartamu (wahai manusia) hanyalah apa yang kamu makan sampai habis, apa yang kami gunakan sampai rusak, dan apa yang kamu sedekahkan, sehingga tersisa di hari kiamat.” (HR. Ahmad 16305, Muslim 7609 dan yang lainnya).
Karena itu, sekaya apapun manusia, sebanyak apapun penghasilannya, dia tidak akan mampu melampaui jatah rezekinya.
Orang yang punya 1 ton beras, dia hanya akan makan sepiring saja. Orang yang memiliki 100 mobil, dia hanya akan memanfaatkan 1 mobil saja. Orang yang memiliki 100 rumah, dia hanya akan menempati 1 ruangan saja.
Keempat, kita akan dihisab oleh Allah untuk semua yang kita usahakan. Tak terkecuali semua pemasukan yang kita dapatkan. Meskipun belum tentu kita akan memanfaatkannya. Dengan kata lain, kita tidak hanya ditanya tentang bagaimana cara mendapatkan harta, termasuk bagaimana mengunakan harta.
Allah berfirman:
“Kemudian, pada hari kiamat itu, sungguh kalian akan ditanya tentang kenikmatan.” (QS. at-Takatsur: 8).
Dalam hadis dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak akan bergeser dua telapak kaki seorang hamba pada hari kiamat sampai dia ditanya (dimintai pertanggungjawaban) tentang umurnya kemana dihabiskannya, tentang ilmunya bagaimana dia mengamalkannya, tentang hartanya; dari mana diperolehnya dan ke mana dibelanjakannya, serta tentang tubuhnya untuk apa digunakannya.” (HR. Turmudzi 2417, ad-Darimi 537, dan dishahihkan al-Albani)
Yang akan dihisab oleh Allah tidak hanya harta yang menjadi kebutuhan sekunder atau tersier, termasuk yang menjadi harta kebutuhan primer, dan bahkan makanan yang dikonsumsi seseorang ketika sedang kelaparan.
Dalam sebuah hadis, abu Hurairah meriwayatkan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh nikmat yang akan ditanyakan pada hamba pertama kali pada hari kiamat kelak adalah dengan pertanyaan: ‘Bukankah Kami telah memberikan kesehatan pada badanmu dan telah memberikan padamu air yang menyegarkan?” (HR. Tirmidzi no. 3358 dan dishahihkan al-Albani).
Karena itu, semakin banyak pemasukan seseorang, dia akan menjalani hisab yang lebih lama. sehingga menyebabkan dia tertunda masuk surga. Dalam hadis dari Abdullah bin Amr bin Ash radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya kaum muhajirin yang miskin, mereka mendahului masuk surga pada hari kiamat, 40 tahun sebelum orang kaya.” (HR. Ahmad 6735, Muslim 7654, dan Ibnu Hibban 678).
Dalam hadis lain, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Orang muslim yang miskin akan masuk surga sebelum orang muslim yang kaya dengan selisih setengah hari, yang itu setara dengan 500 tahun.” (HR. Ahmad 8521, Turmudzi 2528, dan dihasankan Syuaib al-Arnauth).
Dua hadis ini tidaklah bertentangan. Al-Qurthubi memahaminya bahwa perbedaan ini kembali kepada perbedaan keadaan orang miskin dan orang kaya yang bersangkutan. Jika persaingan itu terjadi antar-sesama Muhajirin, selisihnya masuk surga antara miskin dan kaya terpaut 40 tahun. Sementara selain Muhajirin, setengah hari di waktu kiamat, sepadan dengan 500 tahun. (at-Tadzkirah, al-Qurthubi, hlm. 548).
Kelima, prestasi manusia tidak diukur dari seberapa banyak harta yang dia miliki, tapi dari seberapa banyak dia bisa memberikan manfaat bagi umat.
Ada sebuah hadis yang menyatakan, “Manusia yang paling dicintai Allah, adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.” (at-Thabrani dalam as-Shaghir, 862 – majma’ zawaid 13708)
Harta melimpah memang merupakan suatu kelebihan, namun tidka semua orang yang diberi kelimpahan harta itu mampu mngendalikan atau mengatur hartanya dnegan baik.
Islam menghargai semua kelebihan manusia, namun kelebihan itu baru ternilai, ketika pemiliknya paham syariat dan ilmu agama. Karena hanya dengan modal paham aturan agama, manusia bisa mengendalikan segala kelebihannya dengan benar, sehingga manfaatnya lebih luas. Standar inilah yang diajarkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dalam hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Manusia adalah barang tambang. Manusia terbaik di zaman jahiliyah dia juga yang terbaik setelah masuk islam, apabila dia paham agama.” (HR. Bukhari 3383 dan Muslim 2526)
Barang tambang beraneka ragam tingkatannya. Di sana ada emas, ada perak, nikel, besi, bahkan kerikil dan pasir. Masing-masing memiliki nilai yang jauh berbeda sesuai kelebihannya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memisalkan manusia sebagaimana layaknya barang tambang. Masing-masing memiliki nilai yang berbeda sesuai tingkat kelebihannya. Namun semua itu baru memiliki arti, ketika dia paham agama.
Orang yang paham agama, dan berusaha mengamalkannya, akan menggunakan potensi hartanya untuk sesuatu yang bermanfaat bagi umat.
Dari Abu Kabsyah Al-Anmari radhiyallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Ada tiga perkara yang aku bersumpah atasnya, dan aku akan menceritakan kepada kalian suatu perkataan, maka hafalkanlah. Beliau bersabda: ‘Harta seorang hamba tidaklah berkurang disebabkan shodaqoh, dan tidaklah seorang hamba terzholimi dengan suatu kezholiman lalu ia bersabar dalam menghadapinya melainkan Allah menambahkan kemuliaan kepadanya, dan tidaklah seorang hamba membuka pintu utk meminta-minta (kepada orang lain, pent) melainkan Allah akan bukakan baginya pintu kefakiran, -atau suatu kalimat semisalnya-. Dan aku akan sampaikan kepada kalian satu perkataan kemudian hafalkanlah.’ Beliau bersabda: ‘Sesungguhnya dunia ini hanya milik empat golongan saja:
(1) Seorang hamba yang dikaruniai harta dan ilmu kemudian ia bertakwa kepada Rabb-nya, menyambung silaturrahim dan mengetahui hak-hak Allah, inilah kedudukan yang paling mulia.
(2) Seorang hamba yang dikaruniai ilmu tapi tidak dikaruniai harta, kemudian dengan niat yang tulus ia berkata: ‘Jika seandainya aku mempunyai harta, maka aku akan beramal seperti amalannya si fulan itu.’ Dengan niat seperti ini, maka pahala keduanya sama.
(3) Seorang hamba yang dikaruniai harta namun tidak diberi ilmu, lalu ia membelanjakan hartanya secara serampangan tanpa dasar ilmu, , ia tidak bertakwa kepada Rabbnya, tidak menyambung silaturrahim, dan tidak mengetahui hak-hak Allah, maka ia berada pada kedudukan paling rendah.
(4) Dan seorang hamba yang tidak dikaruniai harta dan juga ilmu oleh Allah ta’ala, lantas ia berkata: ‘Kalau seandainya aku memiliki harta, niscaya aku akan berbuat seperti yang dilakukan si Fulan.’ Maka ia dengan niatnya itu, menjadikan dosa keduanya sama.” (HR. Turmudzi 2325, Ahmad 18194 dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth). []
SUMBER: KONSULTASI SYARIAH