MESKI sama-sama tercakup dalam lingkup qiyamullail, namun jumhur ulama membedakan antara shalat tarawih dengan tahajjud. Setidaknya ada delapan perbedaan yang tercatat. Apa saja kah? Berikut ini penjelasan selengkapnya.
5. Perbedaan ‘timing’ pelaksanaannya
Shalat tarawih yang dilakukan oleh Rasulullah SAW dan para shahabat yang hanya tiga kali itu ternyata dilakukan sesudah shalat isya’ dan sebelum tidur malam. Mirip dengan yang semua orang lakukan di masa sekarang ini.
Sedangkan shalat tahajjud dilakukan oleh Rasulullah SAW di akhir malam, setelah beliau SAW selesai beristirahat tidur malam. Tidak ada shalat tahajjud yang dilakukan pada awal malam.
Jika dijelaskan lebih rinci tentang tahajud, dapat diketahui bahwa kata tahajjud (تهجد) berasal dari kata hujud (هجود). Menariknya, kata tahajjud punya dua arti sekaligus yang berlawanan, begadang dan tidur. Jadi bisa diterjemahkan menjadi begadang, tapi kadang bisa juga diterjemahkan menjadi tidur.
Al-Azhari dalam Lisanul Arab menyatakan bahwa bila kita menyebut Al-Hajid (الهاجد) artinya adalah orang yang tidur. Kata hajada (هجد) bermakna tidur di malam hari (نام بالليل).
Sedangkan kalau kita sebut Al-Mutahajjid (المتهجد) artinya adalah orang yang bangun pada malam hari untuk ibadah. Seolah-olah mutahajjid ini adalah orang yang membuang hujud (tidur) dari dirinya.
Sementara secara istilah syariat, di dalam kitab Nihayatul Muhtjd jilid 2 hal. 127 disebutkan bahwa tahajjud adalah Shalat tathawwu’ pada malam hari setelah bangun dari tidur.
Hal ini dikuatkan dengan hadits dari Al-Hajjaj bin Amr radhiyallahuanhu bahwa ada seorang diantara kalian yang mengira bila seseorang shalat di malam hari hingga shubuh, dia dikatakan sudah bertahajjud. Padahal tahajjud itu adalah seseorang melakukan shalat setelah bangun dari tidur.
6. Perbedaan dalam bilangan rakaat
Bicara jumlah rakaat tahajjud, kita punya banyak hadits yang menyebutkan bahwa beliau SAW mengerjakannya dengan 11 atau 13 rakaat.
“Adalah Rasulullah SAW shalat malam dengan 13 rakaat.” (HR. Muslim)
Namun ada juga hadits yang menyebutkan bahwa beliau SAW shalat malam tidak lebih dari 11 rakaat, sebagaimana hadits Aisyah radhiyallahuanha, “Beliau SAW (shalat malam) tidak pernah lebih dari 11 rakaat, baik di dalam bulan Ramadhan atau di luar bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari)
Tetapi soal jumlah rakaat tarawih yang dilakukan oleh Rasulullah SAW dan para shahabat, terdapat ikhtilaf di kalangan para ulama. Mengapa?
Ternyata karena memang tidak ada hadisnya. Sehingga berapa jumlah rakaatnya, tidak pernah disebutkan dalam hadits secara tegas. Kalau ada yang bilang beliau mengerjakan 11 atau 20 rakaat, tentu bukan merupakan fakta dari nash hadits, melainkan sekedar tafsir dan asumsi.
Memang ada segelintir orang yang bilang bahwa beliau tarawih 11 rakaat berdasarkan hadits Aisyah yang shahih. Haditsnya memang shahih, tetapi para ulama umumnya sepakat bahwa hadits itu bukan terkait dengan shalat tarawih, melainkan shalat tahajjud itu sendiri.
Kalau untuk shalat tahajjud, umumnya para ulama sepakat bahwa beliau mengerjakannya 11 rakaat. Tetapi untuk tarawih, tidak ada satu pun dalil tentang jumlahnya di masa Nabi SAW.
Data yang paling valid tentang jumlah rakaat tarawih adalah tarawih yang dilakukan seluruh shahabat sepeninggal Rasulullah SAW di masa kepemimpinan Umar bin Al-Khattab radhiyallahuanhu, tepatnya tahun kedua sejak beliau menjadi khalifah.
Seluruh shahabat telah berijma’ untuk mengerjakan tarawih sebanyak 20 rakaat, tidak ada satupun yang menolaknya. Asumsinya, kalau seluruh shahabat mengerjakan 20 rakaat, pastilah mereka melakukannya persis seperti yang dahulu mereka lakukan di masa Nabi SAW, yaitu sebanyak 20 rakaat. Hampir seluruh ulama sepakat bahwa jumlah rakaat tarawih itu 20 rakaat berdasarkan ijtihad.
7. Perbedaan dari segi hukum
Meski pernah dihentikan pengerjaannya di masa Nabi SAW, namun para ulama sepakat bahwa penghentian itu bukan berarti pencabutan atas pensyariatannya. Penghentian itu semata karena alasan takut diwajibkan, sehingga ketika beliau SAW wafat, maka kekhawatiran itu tidak lagi beralasan. Sebab tidak ada pensyariatan apapun sepeniggal beliau SAW.
Maka para shahabat menjalankan shalat tarawih ini dengan status hukum sunnah, dan sebagian lagi memberi status sunnah muakkadah.
Berbeda dengan tahajjud, dimana banyak ulama mengatakan bahwa hukumnya wajib bagi Rasulullah SAW dan sunnah bagi ummatnya.
“Tiga perkara yang bagiku hukumnya fardhu tapi bagi kalian hukumnya tathawwu’ (sunnah), yaitu shalat witir (tahajjud), menyembelih udhiyah dan shalat dhuha.” (HR. Ahmad dan Al-Hakim)
8. Perbedaan istirahat/jeda
Ada banyak istirahat dalam shalat tarawih, sebagaimana nama yang disematkan kepadanya. Duduk istirahat di sela-sela rakaat tarawih itu menjadi amat mutlak diperlukan. Karena umumnya jumlah rakaatnya banyak dan bacaannya cukup panjang. Tidak mungkin semua itu dilakukan dengan cara berdiri terus-terusan tanpa jeda istirahat. Apalagi yang ikut shalat ini cukup banyak jumlahnya.
Lain halnya tahajjud yang umumnya Nabi SAW melakukannya sendirian. Banyak riwayat yang menyebutkan bahwa beliau SAW shalam sampai bengkak kakinya, karena saking lamanya. Tidak ada riwayat yang menyebutkan bahwa beliau bersitirahat di sela-sela rakaat tahajjud. []
SUMBER: RUMAH FIQIH