ADAB merupakan suatu persoalan mendasar berkenaan dengan tingkah laku yang kini mulai terlupakan. Tak sedikit generasi ‘jaman now’ yang mengabaikan adab baik terhadap orang tua, guru, maupun orang lain di sekitar yang seharusnya mereka hormati.
Sikap hormat dari orang yang lebih muda kepada yang lebih tua, kini seakan tiada. Seringkali interaksi murid dengan orang tua atau guru berjalan layaknya teman, sehingga ada adab yang kadang terabaikan. Contoh kecilnya adalah soal mencium tangan.
Berapa banyak anak sekolah ‘jaman now’ yang masih terbiasa mencium tangan orang tuanya ketika akan berangkat sekolah atau bepergian keluar rumah? Padahal, mencium tangan merupakan salah satu sikap hormat anak terhadap orang tua tau gurunya.
Para sahabat bahkan Rasulullah sendiri melakukan hal itu sebagimana tercantum dalam sebuah hadis shahih. Hukum mencium tangan ulama, guru dan kerabat yang lebih tua adalah sunnah dan dianjurkan sebagaimana yang dilakukan oleh para sahabat pada baginda nabi berdasarkan hadit Abu Daud dengan sanad yang shahih.
Disunahkan mencium tangan orang yang masih hidup karena kebaikannya dan sejenisnya yang tergolong kebaikan-kebaikan, kealimannya, dan kemuliaannya.
Dan dimakruhkan mencium tangan seseorang karena kekayaannya atau lainnya yang bersifat duniawi seperti lantaran butuh dan hajatnya pada orang yang memiliki harta dunia.
“Barangsiapa merendahkan hati pada orang kaya karena kekayaannya hilanglah 2/3 agamanya.” (Asnaa al-Mathaalib III/114)
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dalam Sunannya (juz II halaman 523, hadits nomor 524,) dan Imam Thabrani disebutkan, “Ketika sampai di Madinah kami (para sahabat) bersegera turun dari kendaraan kami, lalu kami mengecup tangan dan kaki Nabi shallallaahu alaihi wassalam.”
Atas dasar hadits ini, para ulama mensunnahkan mencium tangan para habaib, para kiyai, para ustadz dan para guru serta orang-orang yang kita hormati.
Imam Nawawi berkata dalam kitab Raudhoh juz X halaman 36, cetakan al-Maktab al -Islami tahun 1412 H -1991 M berkata, “Adapun mencium tangan, jika karena kezuhudan dan kesalehan orangnya, atau karena ilmunya, atau mulianya, atau karena dia menjaga perkara keagamaan, maka hukumnya MUSTAHAB (disunnahkan). Dan apabila karena dunianya, kekayaannya dan kepangkatannya dan sebagainya, maka hukumnya sangat makruh.”
As-Samhudi mengutip dari al-Imam al-Hafizh Ibn Hajar Asqolani, bahwa beliau berkata, “Al-Hafizh Ibn Hajar mengatakan- bahwa sebagian ulama mengambil dalil dari disyariatkannya mencium hajar aswad, kebolehan mencium setiap yang berhak untuk di agungkan; baik manusia atau lainnya, (dalil) tentang mencium tangan manusia telah dibahas dalam bab Adab, sedangkan tentang mencium selain manusia, telah dinukil dari Ahmad ibn Hanbal bahwa beliau ditanya tentang mencium mimbar Rasulullah dan kuburan Rasulullah, lalu beliau membolehkannya, walaupun sebagian pengikutnya meragukan kebenaran nukilan dari Ahmad ini. Dinukil pula dari Ibn Abi ash-Shaif al-Yamani (salah seorang ulama madzhab Syafi’i di Makkah) tentang kebolehan mencium Mushaf, buku-buku hadits dan makam orang saleh. Kemudian pula Ath-Thayyib an-Nasyiri menukil dari al-Muhibb ath-Thabari bahwa boleh mencium kuburan dan menyentuhnya, dan dia berkata: Ini adalah amaliah para ulama saleh.
Jadi, mencium tangan orang tua atau guru itu bukanlah sebuah perbuatan sia-sia atau sekedar tata krama biasa. Dengan mencium tangan orang tua atau guru, seorang anak atau murid berarti memuliakan mereka. Dengan mencium tangan ada rasa hormat yang ditunjukkan, dan ada ridho yang mungkin diberikan sehingga dapat menghantarkan seorang anak pada keberkahan baik dalam ilmu maupun kehidupannya.
Adab semacam itu memang terlihat kecil dan sepele, tapi maknanya nilai dan hikmah yang terkandung di dalamnya ternyata sangat berharga. []
SUMBER: FIMADANI