IBNU Hajar al-‘Asqani mengisahkan bahwasanya ada seorang laki-laki yang sangat kaya hendak menunaikan ibadah haji. Sebelum berangkat menuju Baitullah, ia menitipkan hartanya sebanyak 1000 dinar kepada seseorang yang di kalangan masyarakat terkenal amanah dan shalih.
Namun, sepulang dari Makkah, orang kaya tersebut mendapatkan kabar bahwa orang yang dititipi telah meninggal dunia. Maka dia menemui ahli waris orang tersebut guna menanyakan harta yang telah ia titipkan. Akan tetapi, para ahli waris tidak ada yang mengetahui perihal harta itu. Lalu, ia menemui salah satu ulama Makkah dan berkonsultasi kepadanya.
Ulama itu memberikan saran,“Nanti malam, saat orang-orang telah terlelap tidur, datanglah ke sumur zam-zam. Arahkan pandanganmu ke sumur itu dan panggillah nama orang yang kamu titipi harta. Jika ia orang baik-baik, ia akan menjawab panggilanmu.”
Kemudian, orang kaya itu menjalankan saran tersebut. Namun, ia tak mendengar suara apapun. Ia kembali menemui ulama Makkah dan menceritakan pengalamannya selama di dekat sumur zam-zam.
“Aku sudah menjalankan saran Anda. Aku berkali-kali memanggil yang kutitipi harta. Namun, aku tak mendengar suaranya sama sekali,” kata orang kaya.
“Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji’un,” kata ulama Makkah.
“Aku khawatir jika orang yang kamu titipi harta adalah ahli neraka. Sekarang, pergilah ke Yaman. Di sana, ada Sumur Barhut. Dikatakan Barhut karena dianggap sebagai mulut neraka Jahannam. Pergilah ke Sumur tersebut jika malam telah larut,” kata ulama Makkah.
Lalu, orang kaya tersebut bergegas ke Yaman. Kali ini, ia benar-benar mendengar suara orang yang ia titipi harta. Lalu, ia bertanya padanya, “Di manakah kamu menyimpan hartaku?”
“Aku pendam hartamu di rumah seseorang dekat dengan rumahku. Datangilah tempat itu dan ambillah hartamu.”
Karena penasaran, orang kaya tersebut bertanya, “Wahai Tuan, atas saran seorang ulama di Makkah, aku memanggil-manggil namamu di sumur zam-zam, namun aku tidak mendengar suara anda. Lalu, ia menyarankan untuk memanggil nama anda di sumur Bahut ini. Dan Anda merespon panggilanku. Ini pertanda tidak baik, padahal aku mengenal Anda sebagai seorang yang shalih.”
“Benar, semenjak dimakamkam, aku sering mendapat azab, kecuali pada saat ini, guna merespon panggilanmu.”
“Mengapa bisa demikian?” tanya orang kaya.
“Saat hidup di dunia, aku memang rajin beribadah, sehingga orang mengenalku sebagai orang shalih. Namun, ada satu sikapku yang menyebabkan aku menderita di alam kubur. Aku memiliki saudara perempuan yang fakir. Karena gengsi, aku enggan bertemu dengannya. Aku khawatir orang-orang mengolok-olok aku jika mereka tahu aku memiliki saudara yang fakir. Sikapku itulah yang menyebabkan aku mendapat azab di alam kubur.” []
Sumber: Saifudin, Ahmad. 2014. Islam Itu Penuh dengan Cinta: Yogyakarta. Pustaka Almajaya.