LOGIKANYA begini, coba bayangkan sebuah botol minuman dan empat gelas. Isi botol itu jika dituangkan dalam empat gelas itu, rasa minuman itu akan tetap sama di botol manapun. Mendeteksinya pun mudah. Jika botol berisi air putih, maka gelas-gelas pun akan penuh dengan air putih.
Sekarang, ayo kita balikkan misalnya begini, empat botol berisi minuman berbeda untuk satu gelas. Jika isi semua botol dituangkan pada satu gelas itu, maka gelas akan menghasilkan minuman yang rasanya gado-gado alias tidak jelas.
BACA JUGA: Antara Islam, Monogami dan Poligami
Begitulah mengapa Allah Azza Wa Jalla membolehkan poligami untuk laki-laki tapi melarang poliandri untuk perempuan. Sebagian pihak menganggap itu sebagai bentuk ketidakadilan Allah Azza Wa Jalla. Mereka menganggap Allah Azza Wa Jalla seolah hanya menguntungkan laki-laki tapi justru merugikan perempuan.
Dan para aktivis perempuan berteriak kencang: poligami adalah ketidakadilan. Kalau memang adil, mestinya poliandri juga diperbolehkan untuk perempuan. Saat poliandri dilarang keras oleh Sang Pencipta, bukan berarti Ia sedang bertindak tidak adil terhadap perempuan. Justru Ia bersikap adil terhadap perempuan. Ia menempatkan perempuan di tempat yang layak tidak boleh poliandri.
Sebab jika perempuan berpoliandri, maka perempuan akan menjatuhkan harkat keperempuanannya sendiri. Perempuan umumnya cenderung hanya mencintai seorang lelaki. Perempuan biasanya tak kan sudi cintanya diduakan. Karena itulah, umumnya perempuan tidak rela sang suami berpoligami.
BACA JUGA: Mengapa Rasulullah Larang Ali Poligami?
Dengan demikian, jika perempuan berpoliandri, ia pun seolah berusaha menghapus fitrah kewanitaannya. Bayangkan, betapa merepotkannya untuk menentukan siapa ayah anak dari seorang perempuan yang berpoliandri. Setiap kali anak lahir, harus dilakukan tes DNA dulu. Akan terjadi kekacauan nasab saat terjadi poliandri.
Karena itu pula, anak yang terlahir dari seorang ibu yang melakukan hubungan seksual dengan banyak laki-laki, akan mengalami beban psikologis, moral, dan hukum. Meski secara medis melalui test DNA, bisa ditentukan lelaki yang membuahi, tapi menetapkan status hukum ayah bukanlah hal yang mudah. Begitu pula dengan pembagian warisnya yang tentunya akan sulit dan rumit luar biasa. []