BANYAK orang beranggapan Islam membatasi gerak langkah wanita untuk mengekspresikan diri. Tak banyak yang menyadari bahwa sesungguhnya Islam meninggikan harkat dan derajat kaum hawa lewat syariat yang diterapkan dalam ajarannya.
Islam tidak membatasi wanita untuk berekspresi dan berkarya bahkan untuk berkontribusi bagi bangsa. Kendati posisi pemimpin dalam Islam galib dijabat kaum Adam, sejarah mencatat wanita muslim pun pernah memegang amanah kepemimpinan.
BACA JUGA: Muslimah, Jadilah Wanita Muda
Dikutip dari Muslim Heritage, berikut ini beberapa wanita yang berprestasi di tampu kepemimpinan dalam sejarah Islam:
Sitt al-Mulk
Dalam peradaban Muslim, tidak ada wanita yang memegang kekuasaan dengan gelar khalifah atau imam. Kendati demikian, ternyata ada wanita yang menjadi Sultana dan Malikas (ratu).
Sitt al-Mulk, Puteri Fatimiyah di Mesir, adalah salah satunya. Cerdas dan teliti dengan tidak melanggar aturan dan persyaratan apa pun yang mengatur politik Islam, Ia menjalankan hampir semua tugas khalifah. Ia mengatur segala urusan kekaisaran dengan efektif sebagai Bupati selama dua tahun (1021-1023) dan mendapatkan gelar ‘Naib as-Sultan’ (Wakil Sultan).
Sitt al-Mulk adalah kakak perempuan Khalifah Al-Hakim. Setelah kematian ayahnya, Al-Aziz, Ia memaksa Al-Hakim agar turun dari jabatannya dan akhirnya Sitt al-Mulk menjadi Bupati sebagai penerus Al-Zahir. Ia menghapuskan banyak aturan aneh yang Al-Hakim terapkan pada masa pemerintahannya. Ia juga mengurangi ketegangan Kekaisaran Bizantium atas kendali Aleppo. Tetapi sebelum negosiasi selesai, Ia meninggal pada 5 Februari 1023 pada usia 52.
Shajarat al-Durr
Ratu lain yang menyandang gelar Sultana adalah Shajarat al-Durr. Ia mendapat kekuasaannya di Kairo pada 1250 Masehi. Bahkan, Ia membawa kemenangan bagi kaum Muslim selama Perang Salib dan menangkap Raja Prancis, Louis IX.
Shajarat al-Durr (yang namanya berarti dalam bahasa Arab ‘untaian mutiara’), memiliki nama kerajaan al-Malikah Ismat ad-Din Umm-Khalil Shajarat al-Durr. Ia menjadi Sultana Mesir pada 2 Mei 1250. Kepemimpinannya menandai berakhirnya pemerintahan Ayyubiyah dan dimulainya era Mamluk.
Shajarat al-Durr adalah seorang janda dari Sultan Ayyubiyah as-Salih Ayyub yang berperan penting setelah kematiannya selama Perang Salib Ketujuh melawan Mesir (1249-1250). Dalam perjalanan hidup dan karier politiknya, Shajarat al-Durr, memainkan banyak peran dan berpengaruh besar dalam sistem pemerintahannya. Ia adalah seorang pemimpin militer, seorang ibu, sekaligus seorang sultana yang sukses besar hingga kekuasaannya jatuh pada tahun 1257. Shajarat al-Durr meninggal di Kairo pada tahun 1257.
Sultana Raziya
Di ujung lain dunia Muslim pada masa yang hampir bersamaan dengan Shajarat al-Durr, seorang wanita lainnya juga memegang kekuasaan. kali ini di India. Razia (atau Raziyya) Sultana dari Delhi mengambil alih kekuasaan di Delhi selama empat tahun (1236-1240 M). Ia adalah satu-satunya wanita yang pernah duduk di atas takhta Delhi. Nenek moyang Razia adalah Muslim keturunan Turki yang datang ke India pada abad ke-11.
Razia dipilih menjadi sultan oleh ayahnya. Sang ayah lebih memilihnya, daripada saudara laki-lakinya, untuk menjadi penggantinya. Setelah kematian ayahnya, Razia dibujuk untuk turun dari tahta demi saudara tirinya Ruknuddin. Tetapi, Ia menentangnya dan orang-orang pun meminta Razia agar menjadi Sultana pada tahun 1236.
Amina dari Zaria
Di Afrika, beberapa Muslim perempuan unggul di berbagai bidang. Salah satunya adalah Ratu Amina dari Zaria. Ia adalah putri tertua Bakwa Turunku yang mendirikan Kerajaan Zazzau pada 1536. Amina berkuasa antara 1588 dan 1589. Amina pada umumnya dikenal karena eksploitasi militernya yang sengit. Ia memiliki kualitas khusus untuk strategi militernya yang brilian, khususnya keterampilan teknik dalam mendirikan kamp-kamp yang bertembok kuat.
Amina dari Zaria, Ratu Zazzua, provinsi Nigeria yang sekarang dikenal sebagai Zaria, lahir sekitar tahun 1533 pada masa pemerintahan Sarkin (raja) Zazzau Nohir.
BACA JUGA: Inilah 3 Dokter Wanita Pada Zaman Rasulullah
Zazzua adalah salah satu dari sejumlah negara kota Hausa yang mendominasi perdagangan trans-Sahara setelah runtuhnya kekaisaran Songhai ke barat. Kekayaannya dikarenakan perdagangannya terutama barang-barang kulit, kain, kola, garam, kuda, dan logam impor. Ratu Bakwa wafat sekitar tahun 1566 dan pemerintahan Zazzua diserahkan kepada adiknya, Karama.
Pada saat pemerintahan Karama, Amina muncul sebagai prajurit kavaleri Zazzua yang terkemuka. Prestasi militernya membawa kekayaan dan kekuatan yang besar. Karena prestasinya itulah, ketika Karama meninggal, Amina menjadi ratu Zazzua.
Ia mempopulerkan benteng tembok kota tanah yang menjadi karakteristik negara-kota Hausa sejak saat itu. Ia memerintahkan pembangunan tembok pertahanan di setiap kamp militer yang Ia dirikan. Beberapa kota yang tumbuh di dalam tembok pelindung dikenal sebagai “ganuwar Amina” atau dinding Amina.
Harem di Ottoman
Harem adalah pusat administrasi pemerintahan yang dijalankan oleh perempuan saja. Mereka merupakan kelaurga serta saudara perempuan Sultan. Harem memainkan peran penting dalam pemerintahan Kekaisaran Ottoman pada abad ke 16 dan 17. []
SUMBER: MUSLIM HERITAGE