SUATU sore ada seorang ibu berbagi cerita, “Anak saya sudah SMA, tapi kalau nyuci piring atau nyuci baju gak pernah bersih. Sudah diberi tahu caranya masih saja salah. Kerjanya gak beres, asal aja. Asal cepet selesai. Akhirnya saya harus mengulangnya lagi karena hasilnya gak bersih”, tukasnya.
“Kelas berapa sekarang anaknya? Anak ibu laki-laki atau perempuan,” tanya saya.
“Sudah kelas tiga, Bu. Tahun depan Dia kuliah, anak saya ini perempuan,” jawab Ibu tersebut.
“Anak saya empat orang, paling kecil SD kelas dua, anak pertama sudah selesai jadi sarjana, nah yang saya ceritakan ini anak kedua, kalau anak ketiga kelas dua SMP,” imbuhnya kemudian.
Saya sempat tercenung, teringat suatu saat pernah ada kawan yang bercerita, beberapa murid wanita di SMA yang kebetulan ia jadi wali kelas disana gak bisa ngupas mangga. Setelah mendengar cerita ibu tadi, rasa-rasanya sedih sekali.
Di zaman yang serba canggih seperti ini, anak-anak lebih ahli main gadget dari pada melakukan pekerjaan rumah tangga. Bahkan tidak sedikit diantara mereka di rumahnya dibantu oleh asisten rumah tangga, jadi anak-anak zaman sekarang tak terbiasa melakukan hal kecil sekalipun.
BACA JUGA
Anak Susah Shalat? Solusinya…
Tak Ada Tombol Delet dan Enter pada Anak Kita
Sebetulnya bukan hanya anak perempuan, anak laki laki pun sebaiknya harus dibiasakan melakukan pekerjaan rumah beres-beres, menyapu, mengepel, cuci piring, cuci baju, nyetrika, gosek WC, siram bunga sapu halaman dan sebagainya. Hal ini penting bagi hidup mereka.
Kasus yang diceritakan sang ibu maupun kawan saya tak akan terjadi jika orangtua memahami kemudian menyampaikan kepada anak apa manfaat bagi mereka. Sehingga ketika mereka melakukan semua pekerjaan itu akan dikerjakan dengan sungguh-sungguh bukan sekadar menggugurkan kewajiban.
Beberapa orangtua mengeluh, “jika ibu tak ada bagaimana kamu hidup kelak Nak?. Ini gak bisa, itu gak bisa. “
Namun, hal itu patut direnungkan bu, apakah tingkah laku anak yang serba tidak bisa itu karena memang ia tidak bisa ataukah ibu sama sekali tidak mengajarkan anak bagaimana prosedur pengerjaannya, apalagi menyampaikan manfaat apa yang akan ia dapatkan.
Alih-alih introspeksi diri, saat anak tak kunjung sesuai harapan, Ibu malah menyalahkan. Jika hal tersebut terjadi, tentu sangat disayangkan dan patut ibu rubah. Kita bisa mengoreksi kekurangan anak, tentu kita juga harus mengoreksi kekurangan kita sebagai seorang ibu. Jangan-jangan anak kita tidak bisa melakukan sesuatu yang orang lain bisa karena memang dulu kita sebagai seorang ibu tidak pernah mengajarinya atau bahkan mengenalkan kepada anak kita. []