Oleh: Ratna Mustika Pertiwi, S.Pt
Pegiat Literasi Islam
ratnamustikapertiwi96@gmail.com
IRI, sebuah kata yang tidak asing ditelinga kita, kata iri ditengah-tengah masyarakat memiliki makna denotasi yang buruk bisa berarti tidak suka/ benci/ tidak ingin orang lain memiliki pencapaian lebih baik daripada dirinya.
Mungkin ini benar secara harfiah atau makna katanya, namun IRI bisa berarti sesuatu yang positif pula apabila kita memiliki konteks yang lain.
Semisal kita mendefinisikan iri dalam konteks ketaatan kepada Allah, dalam fitrah kita sebagai manusia pastilah kita ingin berlomba-lomba menuju ketaatan kepada Allah. Apabila kita berkumpul dengan orang-orang sholih, pastilah timbul rasa iri kepada mereka, bukan karena duniawi yang mereka miliki melimpah, tetapi dalam kondisi apapun bahkan dalam kondisi kesempitan mereka tetap rela mengorbankan jiwa, raga dan hartanya untuk meraih keridhoan Allah.
Layaknya ketika kita mengingat cerita guru ngaji/ustadz/ustadzah yang sering menceritakan kisah kaum muhajirin. Bagaimana tak iri kepada ketaatan mereka kepada Allah dan Rasulullah, mereka rela meninggalkan harta benda, pekerjaan bahkan keluarganya untuk berhijrah ke Madinah.
Tak pernah terbesit sedikitpun didalam pikiran, bahwa mereka akan berbalik arah kembali ke Mekkah. Dimatanya hanya satu, yang terpenting mereka bisa melaksanakan syariat islam disana. Tak pernah pula terpikir akan membawa seluruh hartanya yang ada di Mekkah, yang dibawa hanya baju seadanya dan makanan secukupnya.
Demi lillah mereka melawan lelah, meskipun kakinya sudah terasa pilu dan terbakar pasir sahara serta keringat yang mengucur tak pernah membuat mereka berubah pikiran. Lalu apakah Rasulullah menjanjikan harta kepada mereka sesampainya di Madinah hingga mereka rela meninggalkan semuanya? Tidak sama sekali, Rasulullah tak pernah menjanjikan dinar atau dirham, mereka hanya mengerti bahwa apa yang diperjuangkan akan berbuah surga.
Sungguh ironis apabila kita hari ini hanya iri dengan sesuatu berbau duniawi, iri melihat tetangga lebih sukses, lebih kaya raya dan berprofit tinggi tetapi tidak iri melihat orang lain lebih tinggi militansinya kepada Allah S.W.T. Pilu tidak karuan rasanya bila mata ini memandang hanya iri pada sekedar harta benda atau penampakannya.
Bila begitu, nampaknya kacamata matrealisme sepertinya perlu dibuka, karena hidup ini bukan hanya sekedar mencari materi semata atau kedudukan yang hanya sementara. Hidup ini terlalu berharga bila hanya disibukkan untuk berlomba mengejar tingginya jabatan padahal jabatan tertinggi seorang mulim ketika ia bisa meraih surga.
Berkumpul dengan orang yang mencintai dunia akan membuat mata kita kabur terisi bulir-bulir debu manis semunya dunia, hingga buram terhadap tujuan sejati kehidupan yakni meraih keridhoan Allah. Sebaliknya bila kita berkumpul bersama orang-orang sholih mata kita akan terbuka, mengerti bahwa sejatinya hidup adalah jembatan menuju jannah, maka iri kita bukan untuk hal remeh temeh, tetapi iri bila orang lain dengan sekuat tenaganya berusaha untuk meraih lillah tetapi kita masih berjalan di tempat entah kemana.
“……. Maka berlomba-lombalah kamu (dalam berbuat) kebaikan. Di mana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (Q.S Al- Baqarah : 148 )
Wallahualam bishawab. []
Kirim RENUNGAN Anda lewat imel ke: redaksi@islampos.com, paling banyak dua (2) halaman MS Word