Oleh: Widyastuti, S.Pd
(Member Komunitas Revowriter)
Sepandai-pandainya tupai melompat,jatuh juga. Sepandai-pandainya pejabat,korupsinya ketahuan juga. Nampaknya peribahasa ini sesuai dengan realitas kekinian yang terjadi di negeri ini.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan 22 anggota DPRD Kota Malang sebagai tersangka kasus dugaan suap dan gratifikasi. Hingga kini, dari 45 anggota DPRD Kota Malang, sebanyak 41 orang telah ditetapkan sebagai tersangka. Setali tiga uang sebelumnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) resmi mengumumkan 38 anggota DPRD Sumatera Utara pada periode 2009-2014 dan 2014-2019 sebagai tersangka penerimaan uang suap yang diberikan mantan Gubernur Sumatera Utara Gatot Pujo Nugroho terkait kewenangan anggota DPRD pada bulan April 2018.
Ironinya, korupsi dipraktikkan secara sempurna oleh para dewan yang notabene adalah pilar demokrasi. Korupsi berjamaah sudah mulai nampak sejak beberapa tahun yang lalu. munculnya beberapa kasus mulai dari kasus Century, hingar bingar celoteh Nazaruddin, maraknya korupsi di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, hingga mega korupsi proyek E-KTP yang belum usai diproses hingga sekarang.
Tingkat korupsi yang dilakukan oleh birokrasi sangat tinggi. Yang dimaksud dengan birokrasi di sini tidak hanya birokrasi pemerintahan (eksekutif), tetapi juga meliputi birokrasi legislatif dan yudikatif. Sebagaimana kasus-kasus korupsi yang telah terungkap dan diajukan ke pengadilan, korupsi di kalangan birokrasi Indonesia dilakukan oleh antara lain bupati, gubernur, menteri (eksekutif), anggota-anggota DPRD dan DPR (legislatif), serta hakim dan jaksa dalam berbagai tingkat (yudikatif).
Tidak salah jika dikatakan bahwa negeri ini sedang menuju Kleptokrasi. Kleptokrasi (berasal dari bahasa Yunani klepto (maling) dan kratein (pemerintahan) yang berarti “diperintah oleh para maling”) adalah istilah yang mengacu kepada sebuah bentuk administrasi publik yang menggunakan uang yang berasal dari publik untuk memperkaya diri sendiri (yang umum disebut sebagai penguasa dan antek-anteknya). Kleptokrasi juga bisa disamakan dengan permufakatan korupsi.
BACA JUGA: ICW Dorong PKPU Larang Mantan Napi Korupsi Nyaleg
Indonesia merupakan lahan yang kondusif bagi dilakukannya tindakan korupsi. Kegiatan birokrasi pemerintahan yang diwujudkan dalam bentuk proyek, merupakan lahan yang kondusif bagi para pencuri berdasi. Sudah merupakan pengetahuan umum bahwa pimpinan proyek memperoleh “kick back” sebesar antara 30% hingga 40% dari nilai proyek (mungkin lebih, yang akan dibagikan kepada pejabat-pejabat setingkatnya atau atasannya). Bagi rekanan proyek yang melaksanakan pekerjaan proyek, agar supaya tidak memperoleh kerugian dalam mengerjakan proyek, maka dalam penawaran tender tiada jalan lain kecuali melakukan “mark up” nilai proyeknya, atau melakukan KKN dengan panitia tender. Dari sini kemudian timbul istilah jabatan basah dan jabatan kering, yang dianggap sebagai hal yang wajar saja, dan tidak merasa bahwa mengambil harta negara secara tidak sah adalah suatu kejahatan yang besar.
Atas dasar uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa perilaku korupsi sudah sistemik menjerat negeri. Maka diperlukan upaya sistemik juga untuk menanggulangi masalah korupsi. Jika tidak, maka usaha tersebut akan sia-sia. Sayangnya kita tidak bisa berharap banyak pada keadila sistem yang diterapkan saat ini. Sanksi dan hukuman bagi para koruptor tidaklah membuat jera. Ditambah lagi fasilitas mewah hotel prodeo sudah bukan rahasia lagi. Penegak keadilan yang notabennya juga manusia pemuja materi, seakan menjadi dewa penolong. Dengan segepok rupiah, terjalinlah simbiosis mutualisme dalam permufakatan kejahatan. Dengan begini, lengkap sudah kerumitan pemberantasan korupsi di negeri ini.
Lain halnya dengan islam. Agama sempurna yang diturunkan Allah bagi manusia yang lengkap dengan segala aturannya. Dari aturan ranah individu hingga pengaturan negara termaktub jelas dan tegas dalam Al Qur’an yang tiada keraguan di dalamnya. Juga dalam as-sunnah yang diwariskan nabi-Nya.
BACA JUGA: Mendagri: Akhir Tahun, PNS Koruptor ‘Disapu Bersih’
Setidaknya ada empat mekanisme sistem islam dalam mencegah dan mengatasi tindak korupsi pejabat;
Pertama, negara memberikan gaji yang memadai kepada para aparaturnya, dengan begitu gaji mereka cukup untuk memenuhi kebutuhan primer, skunder hingga tersier mereka.
Kedua, dalam pengangkatan aparaturnya, negara menetapkan syarat adil dan takwa sebagai ketentuan, selain syarat profesionalitas. Dengan begitu, mereka memiliki self control yang kuat.
Ketiga, untuk mengetahui, apakah mereka melakukan korupsi atau tidak, negara juga menetapkan kebijakan perhitungan kekayaan mereka sebelum dan setelah menjabat. Jika ada selisih yang tidak masuk akal, maka khilafah bisa merampasnya.
Keempat, negara juga menetapkan hukuman yang keras, bisa dalam bentuk publikasi, stigmatisasi, peringatan, penyitaan harta, pengasingan, cambuk hingga hukuman mati. Inilah cara yang dilakukan oleh Islam untuk mencegah korupsi.
Pada praktiknya, Khalifah Umar bin Khatthab pernah membuat kebijakan, agar kekayaan para pejabatnya dihitung, sebelum dan setelah menjabat. Jika ada selisih positif, setelah dikurangi gaji selama masa jabatannya, maka beliau tidak segan-segan untuk merampasnya. Beliau juga mengangkat pengawas khusus, yaitu Muhammad bin Maslamah, yang bertugas mengawasi kekayaan para pejabat. Berdasarkan laporannya, Umar kemudian membagi kekayaan Abu Hurairah (Gubenur Bahrain), Amru bin Ash (Gubenur Mesir), Nu’man bin Adi (Gubenur Mesan), Nafi’ bin Amr al-Khuzai (Gubenur Makkah), dan lain-lain. Pada zamannya, beliau juga melarang para pejabat berbisnis, agar tidak ada konflik kepentingan.
Oleh karena itu, penerapan sistem islam sudah menjadi kebutuhan yang amat mendesak bagi umat yang menginginkan keberkahan dan kesejahteraan dalam kehidupan. Wallahu’alam bi ash shawab.
OPINI ini adalah kiriman pembaca Islampos. Kirim Opini Anda ke email Islampos@gmail.com dengan panjang maksimal 2 halaman Ms. Office Word. Sertakan biodata singkat dan foto diri.