Oleh: M Rizal Fadillah
Ketua Masyarakat Unggul (MAUNG) Institute Bandung
ISLAMOFOBIA adalah sikap yang negatif kepada Islam dan umat Islam. Hal hal yang berbau Islam dibenci. Mendengar Islam pun pada kaum Islamofobia terasa mual. Apalagi jika Islam dikaitkan dengan sistem sosial atau aspek politik. Kaum Islamofobia adalah mereka yang ingin kehidupan bermasyarakat tidak dicampuri apalagi diwarnai nilai-nilai Islam. Sterilisasi adalah misi.
Sikap fobia pada ajaran Islam yang terjadi di Amerika atau Eropa mungkin dapat dinilai wajar karena umat Islam minoritas disana. Meskipun realitanya jumlah umat Islam semakin meningkat. Akan tetapi jika muncul di Indonesia yang mayoritas warga negaranya adalah muslim, sungguh aneh dan menjadi cermin dari sikap yang tak tahu diri. Sadar atau tidak, mereka itu adalah pemancing permusuhan. Anti kedamaian dan perusak tatanan.
BACA JUGA: Heboh, Panggung Hajatan Ambruk, Pengantin Tercebur ke Kali
Tidak suka Islam bagi non Muslim di Indonesia juga bisa difahami karena setiap pengikut agama meyakini kebenaran agama masing-masingnya. Jembatannya ada pada saling memahami atau toleransi dan juga komunikasi yang baik. Tidak boleh membenci dan mengekspresikan kebencian baik verbal maupun fisik. Masalah yang kita hadapi adalah jika ia Muslim tapi fobia kepada Islam maka hal ini tentu menjadi ironi luar biasa. “Terlaluu” kata seniman lagu.
Terma “jihad”, “syari’at”, “khalifah”, “qital”, “jundullah”, “jilbab”, “murtad”, “kafir” atau lainnya selalu dikonotasikan negatif bagi kaum Islamofobia, padahal terma tersebut melekat pada ajaran Islam, pada Al Qur’an dan Hadits Nabi. Mereka menyimpangkan mana agar masuk dalam kategori predikat yang dibuat dan dilekatkan pada muslim yang taat yakni “fanatik”, “radikal”, “intoleran”, “anti kemajemukan”, bahkan “tidak pancasilais” dan “teroris”. Kaum Islamofobia mendengungkan “moderasi” atau “jauhi politik identitas” yang hakekatnya “sinkretisme” atau bahkan “sterilisasi”. Islam yang tidak boleh menjadi identitas khas dalam berekonomi, pisahkan politik dengan agama, serta jangan bawa akherat untuk interaksi bangsa.
Kaum Islamofobia adalah penyimpang sejarah yang hendak membelokkan arah. Umat Islam pilar utama bagi kemerdekaan Negara. Pejuang-pejuang muslim menggoreskan darah untuk mengusir penjajah. Rumusan bagaimana Negara dibangun ke depan tak bisa dipisahkan dari fikiran, pengorbanan, dan ruhul jihadnya umat dan pemimpin-pemimpin Islam. Musyawarah dan kompromi pun dibangun demi keajegan ideologi bersama. Kaum Islamofobia menafikan semua, seolah kehidupan berbangsa bisa dan harus mulai dari nol. Itulah pernyataan keji dari para kriminalis sejarah.
BACA JUGA: Ini Isi Deklarasi Antihoaks di Harlah Muslimat NU ke-73
Mereka berkolaborasi melalui jaringan atau hubungan ideologis dengan kaum liberalis, sekularis, dan komunis. Non muslim radikal ikut dalam barisan. Bendera Islam tak boleh berkibar di Indonesia. Begitu stigmatisasi dibuat. Mereka lupa bahwa umat dan pemimpin umat sudah sepakat bendera negara adalah Merah Putih. Musuh harus dibuat bagi suksesnya perjuangan “Islamofobia” ini. Kolaborasi menjadikan Islamofobia bukan hanya “letupan” melainkan sebuah “gerakan” berbahaya yang ingin mengubah peta politik bangsa yang sudah terpatri dalam sejarah.
Umat Islam tentu mesti meningkatkan persaudaraan dan faham keagamaan. Merapikan barisan agar tak mudah dipecah belah. Kaum Islamofobia berada dicelah-celah renggangnya shaf kejamaahan umat.
Di sisi lain, pemimpin Negara harus memahami akan posisi umat Islam di kancah kehidupan berbangsa dan bernegara. Umat adalah pilar utama. Jangan meremehkan atau menafikan. Jangan berpura-pura pula. Berbahasa tak butuh dukungan umat Islam tapi blusukan dan tampilan berpeci sorban. Ambivalen. []
Bandung, 12 Februari 2019
OPINI ini adalah kiriman pembaca Islampos. Kirim OPINI Anda lewat imel ke: islampos@gmail.com, paling banyak dua (2) halaman MS Word. Sertakan biodata singkat dan foto diri. Isi dari OPINI di luar tanggung jawab redaksi Islampos.