SEORANG Muslim dituntut untuk selalu menjaga kebersihan. Bahkan kondisi ‘bersih’ menjadi syarat sahnya sebuah ibadah. Cara untuk membersihkan badan dari aneka najis dikenal sebagai Istinja’.
Istinja’ pada hakikatnya adalah usaha untuk menghilangkan najis yang keluar dari kemaluan dan anus. Tapi, dalam praktiknya hal tersebut memiliki perbedaan, khususnya dari alat yang digunakan. Istinja’ tidak terbatas pada air, tetapi dapat pula menggunakan batu, baik dalam kondisi tersedia air maupun tidak.
Dalam ilmu fiqih, makna ‘hajar’ ternyata tak terbatas pada batu yang keras melainkan lebih luas lagi. Hajar dibedakan menjadi hajar hakiki dan hajar syar’i.
Hajar hakiki adalah batu yang seperti kita kenal, sedangkan hajar syar’i mencakup semua benda padat yang suci serta dapat menghilangkan kotoran dan tidak termasuk kategori benda-benda muhtaram (dimuliakan atau berharga).
Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka hal ini telah mengubah gaya hidup masyarakat dan mengalami pergeseran menuju ke arah “serba praktis,” begitu pun dalam hal istinja’.
Merujuk dari beberapa literatur madzhab Syafi’i, seperti al-Majmu’ Syarh al-Muhaddzab, Syarqawi Syarh Tuhfatut Thullab, Bujairami Syarh Iqna’ dan lain-lain, tisu dapat digunakan untuk istinja’ dengan alasan bahwa tisu dianggap sebagai salah satu bentuk hajar syar’i. Maksudnya adalah benda benda padat, tidak najis, dan tidak muhtaram (dianggap mulia dan berharga), dan tidak terdapat tulisan di dalamnya. Jika terdapat tulisan dalam tisu (kertas) itu, maka tidak diperbolehkan menjadikannya sebagai alat istinja’ dengan alasan menghormati tulisan itu.
Satu hal yang harus diperhatikan adalah, jika istinja’ memakai hajar hakiki atau syar’i disyaratkan tiga kali usapan, dan dapat membersihkan kotoran yang ada. Tidak boleh kurang. Kalau sudah diusap tiga kali dengan batu yang berbeda, ternyata belum bersih, harus ditambah hingga benar-benar bersih. []
Sumber: Dialog Problematika Umat Karya KH.MA. Sahal Mahfudh. Surabaya: Khalista & LTN PBNU