DALAM istiqamah kita butuh menggapai derajat yang tinggi. Kalau tidak bisa digapai, maka mendekatilah yang ideal.
Istiqamah berarti kita menempuh jalan yang lurus, tidak condong ke kanan atau ke kiri. Istiqamah ini sangat kita butuhkan. Tidak sedikit ada yang berada di atas iman, malah ia condong pada kekafiran.
Seorang mukmin sudah sepatutnya terus meminta pada Allah keistiqamahan. Itulah yang kita pinta dalam shalat minimal 17 kali dalam sehari lewat doa,
“Tunjukkanlah kepada kami jalan yang lurus.” (QS. Al-Fatihah: 6).
Ini pertanda kita butuh untuk terus istiqamah. Namun tentu saja dalam istiqamah ada saja kekurangan. Makanya Allah perintahkan untuk mengiringi istiqamah itu dengan istighfar,
“Maka tetaplah pada jalan yang lurus menuju kepadaNya dan mohonlah ampun kepadaNya.” (QS. Fushshilat: 6).
Ini menunjukkan bahwa dalam menempuh jalan yang lurus dan istiqamah di atasnya pasti ada kekurangan.
Dari Abu Dzar dan Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Bertakwalah kepada Allah di mana saja engkau berada dan ikutilah setiap kejelekan dengan kebaikan, niscaya kejelekan tersebut akan terhapus dengan kebaikan yang dilakukan. Lalu berakhlaklah pada manusia dengan akhlak yang mulia.” (HR. Tirmidzi, No. 1987, Ahmad 5: 153. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini hasan).
Kalau tidak bisa ideal, baiknya tetap berusaha mendekati yang ideal. Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Istiqamahlah (dalam perkataan, amalan dan niat). Kalau tidak mampu ideal, dekatilah yang ideal.” (HR. Bukhari, No. 6467 Muslim, no. 2818)
Yang bisa dicapai oleh manusia adalah beristiqamahlah (yang ideal), kalau tidak mampu, maka mendekatilah. Jadi ada dua keadaan seperti itu yang bisa kita raih.[]
Sumber: Rumasyho