SEBAGAI seorang suami, ia memiliki kedudukan yang paling penting. Ia wajib memimpin keluarganya agar selalu berada di jalan kebenaran. Ia harus selalu memberikan kebijakan yang mampu mengarahkan anggota keluarga pada kebaikan dan kemaslahatan hidup.
Dan ia perlu memberikan peringatan kepada anggota keluarganya yang tak taat terhadap perintahnya.
Ketika seorang suami telah menjalankan tugasnya dengan baik, terkadang masalah hadir dari pihak istri. Salah satu hal yang menjadi ujian bagi seorang suami ialah ketika istri berbuat nusyuz kepada suaminya. Ya, nusyuz berarti perilaku istri yang melawan terhadap suami. Lalu, bagaimana solusinya?
BACA JUGA: Tidak Digauli oleh Suami Selama Satu Tahun Setengah
Jika seorang istri terus bermuka masam di hadapan suami, padahal suami sudah berusaha berwajah seri. Berkata dengan kata kasar, padahal suami sudah berusaha untuk lemah lembut.
Atau ada nusyuz yang lebih terang-terangan seperti selalu enggan jika diajak ke ranjang, keluar dari rumah tanpa izin suami, menolak bersafar bersama suami.
Maka, hendaklah suami menyelesaikan permasalahan ini dengan jalan yang telah dituntukan oleh Allah Ta’ala.
1. Memberi Nasihat
Hendaklah suami menasihati istri dengan lemah lembut. Suami menasihati istri dengan mengingatkan bagaimana kewajiban Allah padanya yaitu untuk taat pada suami dan tidak menyelisihinya. Ia pun mendorong istri untuk taat pada suami dan memotivasi dengan menyebutkan pahala besar di dalamnya.
Wanita yang baik adalah wanita sholihah, yang taat, menjaga diri meski di saat suami tidak ada di sisinya. Kemudian suami juga hendaknya menasihati istri dengan menyebutkan ancaman Allah bagi wanita yang mendurhakai suami.
Jika istri telah menerima nasihat tersebut dan telah berubah, maka tidak boleh suami menempuh langkah selanjutnya. Karena Allah Ta’ala berfirman, “Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya,” (QS. An Nisa’: 34).
Namun jika nasehat belum mendapatkan hasil, maka langkah berikutnya yang ditempuh, yaitu hajr.
2. Melakukan Hajr
Hajr artinya memboikot istri dalam rangka menasihatinya untuk tidak berbuat nusyuz. Langkah inilah yang disebutkan dalam lanjutan ayat, “Dan hajrlah mereka di tempat tidur mereka,” (QS. An Nisa’: 34).
Mengenai cara menghajr, para ulama memberikan beberapa cara sebagaimana diterangkan oleh Ibnul Jauzi:
1. Tidak berhubungan intim terutama pada saat istri butuh.
2. Tidak mengajak berbicara, namun masih tetap berhubungan intim.
3. Mengeluarkan kata-kata yang menyakiti istri ketika di ranjang.
4. Pisah ranjang. (Lihat Zaadul Masiir, 2: 76).
BACA JUGA: Istri Tidak Mau Pulang ke Rumah, Bagaimana Hukumnya?
Cara manakah yang kita pilih? Yang terbaik adalah cara yang sesuai dan lebih bermanfaat bagi istri ketika hajr.
Namun catatan penting yang perlu diperhatikan, tidak boleh seorang suami memboikot istri melainkan di rumahnya.
Sebagaimana sabda Nabi ﷺ ketika beliau ditanya mengenai kewajiban suami pada istri oleh Mu’awiyah Al Qusyairi, “Dan janganlah engkau memukul istrimu di wajahnya, dan jangan pula menjelek-jelekkannya serta jangan melakukan hajr selain di rumah,” (HR. Abu Daud no. 2142. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadis ini hasan shahih). Karena jika seorang suami melakukan hajr di hadapan orang lain, maka si wanita akan malu dan terhinakan, bisa jadi ia malah bertambah nusyuz.
Namun jika melakukan hajr untuk istri di luar rumah itu terdapat maslahat, maka silakan dilakukan. Karena Nabi ﷺ pernah melakukan hajr terhadap istri-istri beliau di luar rumah selama sebulan.
Juga perlu diperhatikan bahwa hajr di sini jangan ditampakkan di hadapan anak-anak karena hal itu akan sangat berpengaruh terhadap mereka. Bisa jadi mereka akan ikut jelek dan rusak atau menjadi anak yang broken home yang terkenal amburadul dan nakal.
Jika tidak lagi bermanfaat cara kedua ini, maka ada langkah berikutnya.
3. Memukul Istri
Memukul istri yang nusyuz dalam hal ini dibolehkan ketika nasihat dan hajr tidak lagi bermanfaat. Namun, hendaklah seorang suami memperhatikan aturan Islam yang mengajarkan bagaimanakah adab dalam memukul istri, yakni:
a. Memukul dengan pukulan yang tidak membekas. Sebagaimana nasihat Nabi ﷺ ketika haji wada’, “Kewajiban istri bagi kalian adalah tidak boleh permadani kalian ditempati oleh seorang pun yang kalian tidak sukai. Jika mereka melakukan demikian, pukullah mereka dengan pukulan yang tidak membekas,” (HR. Muslim no. 1218).
Jika seorang suami memukul istri layaknya petinju, maka ini bukanlah mendidik. Sehingga, tidak boleh pukulan tersebut mengakibatkan patah tulang, memar-memar, mengakibatkan bagian tubuh rusak atau bengkak.
b. Tidak boleh lebih dari sepuluh pukulan, sebagaimana pendapat madzhab Hambali. Dalilnya disebutkan dalam hadis Abu Burdah Al-Anshori, ia mendengar Nabi ﷺ bersabda, “Janganlah mencabuk lebih dari sepuluh cambukan kecuali dalam had dari aturan Allah,” (HR. Bukhari no. 6850 dan Muslim no. 1708).
c. Tidak boleh memukul istri di wajah. Sebagaimana sabda Nabi ﷺ, “Dan janganlah engkau memukul istrimu di wajahnya,” (HR. Abu Daud no. 2142. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadis ini hasan shahih).
BACA JUGA: Duhai Suami-Istri, Hindarilah Nusyuz Sebelum Menyesal
‘Aisyah menceritahkan mengenai Rasulullah ﷺ, “Aku tidaklah pernah sama sekali melihat Rasulullah ﷺ memukul pembantu, begitu pula memukul istrinya. Beliau tidaklah pernah memukul sesuatu dengan tangannya kecuali dalam jihad (berperang) di jalan Allah,” (HR. Ahmad 6: 229. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan bahwa sanad hadis ini shahih sesuai syarat Bukhari-Muslim)
d. Yakin bahwa dengan memukul istri itu akan bermanfaat untuk membuatnya tidak berbuat nusyuz lagi. Jika tidak demikian, maka tidak boleh dilakukan.
e. Jika istri telah mentaati suami, maka tidak boleh suami memukulnya lagi. Karena Allah Ta’ala berfirman, “Dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar,” (QS. An-Nisa’: 34).
Demikian beberapa solusi yang ditawarkan oleh Islam. Jika solusi yang ditawarkan di atas tidaklah bermanfaat, maka perceraian bisa jadi sebagai jalan terakhir. Wallahu ‘alam. []
SUMBER: RUMAYSHO | SOLUSI ISLAM