Oleh: Hanif Kristianto
Analis Politik dan Media
lsijatim2012@gmail.com
MASIHKAH kita mengingat ijab-qobul dalam pernikahan dengan pernyataan ‘SAH’? Ya, ikatan yang berat dalam mengikat dua insan dalam mahligai pernikahan. Dua insan yang berpasangan tentu ingin mengikat janji seiya-sekata untuk selamanya. Bahkan sehidup-semati. Sayangnya, ikatan itu mulai pudar dan hambar mengingat tingginya tingkat perceraian.
Fenomena perceraian kian menjadi tren dan gaya hidup. Berdasarkan data yang dihimpun dari Pengadilan Agama (PA) Bojonegoro dalam kurun waktu 8 bulan dari Januari hingga Agustus 2016, ada 1.794 orang yang resmi menyandang status janda atau duda. Mereka menjanda atau menduda baik karena bercerai atau ditinggal meninggal. (http://harianbhirawa.co.id/2016/10/1-794-wanita-di-bojonegoro-menjanda/). Selama Agustus saja, misalnya, berdasar data yang dihimpun Jawa Pos Radar Tuban, pasutri yang mengajukan cerai di Pengadilan Agama (PA) Tuban mencapai 281 perkara. Dari jumlah tersebut, sebanyak 262 perkara sudah diputus PA. Itu artinya rata-rata per hari, 8-9 perempuan menyandang status single parent. Padahal, pada Juli lalu jumlahnya sempat mengalami penurunan yang cukup signifikan. Dalam sebulan, hanya 96 perkara. Sebelumnya, pada Juni mencapai 223 perkara. (http://radarbojonegoro.jawapos.com/read/2016/10/04/3143/istri-paling-suka-ucapkan-cerai/)
Miris memang fenomena ini terjadi di tengah Pemprov Jawa Timur memberdayakan ekonomi perempuan. Begitu pula di saat Penguasa Daerah dalam menjaga dan menawarkan Kekayaan Sumber Daya Alamnya ke investor, namun tak mampu menjaga keutuhan rumah tangga rakyatnya. Bukankah rumah tangga adalah pondasi pertama dalam pembangunan daerah?
Sebab demi Sebab
Mirisnya, perkara perceraian yang masuk ke PA itu lebih didominasi cerai gugat (permohonan cerai yang diajukan istri). Ini menunjukkan istri paling suka menceraikan suaminya. Tentunya, dengan berbagai alasan untuk meyakinkan majelis hakim. Faktor yang kerap menjadi alasan perceraian adalah ekonomi. Berikutnya, gangguan pihak ketiga dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Selain itu, juga ada karena faktor krisis akhlak, cemburu, dan kawin paksa.
Program pemerintah dalam pendidikan dan penyiapan bekal pernikahan pun tak ada. Banyak program yang akhirnya salah kaprah tanpa mampu menegah akar masalah. Program lebih sibuk dalam membatasi jumlah penduduk dan memberdayakan perempuan dalam lahan ekonomi. Sementara itu, lupa untuk menguatkan pondasi keluarga dengan bekal akhlak mulia dalam tatanan syariah. Dalam pendidikan sering disebut bahwa keluarga adalah sekolah pertama. Bahkan menjadi kawah candra dimuka untuk menanamkan karakter pada anak yang akan menjadi generasi harapan bangsa.
Jika ditilik dari penyebab utama perceraian adalah faktor ekonomi. Maka hal ini diakibatkan karena negara tidak memberdayakan laki-laki. Sehingga keluarga mampu mewujudkan ketahanan ekonomi keluarga. Ketahanan ekonomi seharusnya diwujudkan negara dengan mempermudah akses lapangan kerja, memurahkan harga barang, menghapus pajak, menggratiskan pendidikan, menyediakan rumah, dan lainnya. Pemberdayaan yang dilakukan negara kepada perempuan justru menjerumuskan kepada persoalan sosial. Pihak istri didorong bekerja atau berwiraswasta. Negara memfasilitasinya dengan alasan kemandirian ekonomi. Padahal banyak fakta menunjukkan, setelah istri punya banyak uang sendiri melebihi suami, merasa suaminya hanya beban baginya. Sehingga lebih baik diceraikan. Inilah pemberdayaan yang salah arah.
Langkah Yang Ditempuh
Perlu peran yang menyeluruh untuk mengatasi fenomena perceraian ini. Ada beberapa langkah yang bisa ditempuh untuk mengatasinya.
Pertama, menanamkan kepada pasangan yang hendak menikah bahwa pernikahan untuk ibadah, bukan main-main. Perceraian memang dibolehkan, tapi itu jalan yang buruk sehingga tidak mudah dijadikan solusi.
Kedua, negara melindungi rakyatnya membendung ide yang merusak keluarga. Misalnya gaya hidup bebas, budaya konsumtif, dan hedonisme. Menutup segala pintu perzinahan dan gaya gaul yang bebas. Budaya materialistik harus diganti ke budaya Islami.
Ketiga, keharmonisan rumah tangga memerlukan peran semua pihak. Individu yang takwa, masyarakat yang takwa, dan negara yang takwa. Sehingga nilai-nilai religius mampu diresapi dalam kehidupan.
Keempat, negara juga harus intropeksi beserta jajajarannya dan stakeholder. Jika angka perceraian terus tinggi, maka wajib merevolusi segala lini.
Semoga ke depan kehidupan rumah tangga keluarga Indonesia lebih baik. Sehingga muncul generasi yang berkualitas dan mampu menjadikan Indonesia berdaulat dan mandiri. []