Oleh: Ns risno
ensrisno@gmail.com
DI dunia ini kita tidak akan mendapati kesempurnaan. Pekerjaan, tempat tinggal, lingkungan, orang tua, sahabat, tetangga, guru ataupun yang lainya, semua tidak ada yang sempurna. Masing masing pasti memiliki kelebihan dan kekurangan. Ada kebaikannya namun ada juga sisi keburukanya. Ya, begitulah dunia dan isinya selalu tidak sempurna.
Demikian juga dengan pasangan hidup kita. Kita tidak akan mungkin mendapati kesempurnaan pada pasangan hidup kita. Istri kita bukanlah malaikat, bukan juga bidadari yang tinggal di surga. Sebagaimana kita, istri kita itu manusia biasa dan sebagai manusia biasa tentu saja ada kelebihan dan kekurangnya. Ada kebaikan namun juga punya keburukan.
Okelah, kalau lagi temanten baru yang dirasakan pada pasangan hidup adalah sosok wanita yang sempurna. Namun hal yang demikian tentu saja tidak akan selamanya dirasakan. Seiring perjalanan waktu, akan nampak pada istri kita di samping ada kelebihan juga ada sisi kekuranganya.
Nah mendapati kenyataan yang demikian, kita (seorang suami*) sepatutnya bersikap adil dan bijaksana dalam menghadapi pasangan hidup. Yakni, bersikap toleran atas kekuranganya dan bersabar atas sesuatu yang mungkin tidak kita senangi sambil terus berusaha membenahi diri.
Kekurangan dan kelemahan istri jangan sampai menjadi alas an bagi kita untuk bersikap tidak adil. Mudah terpancing emosi menyalahkan istri manakala mendapati kekurangan dan kelemahanya. Kekurangan dan kelemahan yang ada pada istri jangan sampai menutupi segala kebaikanya, pengabdiannya, pengurbananya dan kesetiaan yang sudah ditunjukan kepada kita.
“Dan pergaulilah mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (QS: An-Nisa: 19).
Disuatu kesempatan Abu Utsman Sa’id bin Isma’il al-Hiri (w.298 H ) ditanya, “Wahai Abu Utsman, amalan apakah yang paling engkau harapkan pahalanya disisimu nanti diakhirat? “Abu Utsman menjawab, namun sebelumnya beliau bercerita bahwa dirinya mendapati pasangan hidupnya dalam kondisi pincang, buta, serta buruk rupa. “Ya Allah segala puji bagi-Mu atas apa yang Engkau takdirkan untukku,” ucap beliau.
“Setelah itu (setelah menikah*), seluruh keluargaku mencela dan menyalahkanku. Namun aku tetap bersikap baik dan memuliakan istriku. Bahkan sampai tahap dimana ia tidak membolehkan aku keluar dari sisihnya. Akupun terpaksa meninggalkan berbagai majlis ilmu, karena lebih mengutamakan dan menjaga perasaan istriku. 15 tahun lamanya aku menjalani hidup seperti itu. Dan di sebagian waktuku, aku merasakan hidup seperti diatas bara. Namun hal itu sama sekali tidak pernah aku tampakan pada istriku sampai dia meninggal dunia. Nah, tidak ada amalan yang sangat aku harapkan pahalanya kelak di akhirat selain amalan aku menjaga perasaan istriku selama kurun waktu tersebut.” Wallahu a’lam.
Begitulah kesabaran dan ketabahan Abu Utsman Sa’id bin Ismail al -hiri dalam menghadapi kekurangan dan kelemahan istrinya. Wallahu a’lam. []