Bila lelaki suka pada kecantikan, wanita pun suka pada ketampanan. Cantik dan tampan, serasilah keduanya.
Yang tidak boleh adalah menuntut hak dan mengabaikan kewajiban, suami menuntut agar istrinya dandan agar cantik sementara ia berpenampilan sekenanya.
Teringatlah saya sebuah kisah pada masa Sayidina Umar bin Khathab menjadi Khalifah. Seorang wanita bersama seorang lelaki menghadap beliau sambil berlinang air mata. Ternyata lelaki itu suaminya dan sang wanita mohon pada Umar agar sang suami menceraikannya.
“Wahai Amirul Mukminin!” dengan cemas wanita itu berharap, “Bebaskanlah aku darinya!”
Umar tidak langsung memutuskan hitam dan putih. Karena iya dan tidaknya memutuskan suatu perkara, harus jelas dulu ujung pangkalnya. Ada apa gerangan hingga sang istri meminta bercerai dari suaminya?
Saat itu Umar memperhatikan keadaan sang suami. Menyedihkan memang, rambut sang suami acak-acakan, kumal dan tak terurus. Kukunya panjang, hitam dan kotor. Janggutnya berantakan dan pakaiannya kumal. Sebuah penampilan yang tak sedap dipandang mata.
Pelajaran apa yang bisa kita ambil dari penggalan kisah ini? Apakah karena keadaan ini yang menyebabkan sang istri minta cerai? Wallahu’alam.
Namun bisa jadi ini salah satu penyebabnya, karena setelah melihat keadaan itu Umar segera memberi isyarat dan memerintahkan kepada sang suami untuk pulang dan merapihkan diri. Mandi, keramas, memotong rambut dan kuku, berpakaian rapi dan berdandan sedemikian rupa.
Mendapati isyarat tersebut sang suami pergi dan melaksanakan nasihat Umar. Tak selang beberapa lama lelaki itu datang kembali dengan penampilan yang berbeda. Bersih, rapi, wangi dan macho. Umar mengisyaratkan agar sang suami memegang tangan istrinya.
“Wahai hamba Allah,” teriak sang istri kaget, ”Subhanallah, apakah engkau lancang berlaku seperti ini di depan Amirul Mukminin?”
Sang istri tak mengenali bahwa itu suaminya, sehingga ia marah dan berkata seperti itu. Umar tersenyum melihat mereka, lalu menjelaskan bahwa sesungguhnya lelaki itu adalah suaminya.
Akhirnya dengan tersipu malu sang istri menyatakan tidak jadi bercerai. Mereka pun pulang dengan hati berbunga-bunga, melangkah bersama dan bergandeng tangan mesra.
“Begitulah seharusnya kalian berbuat untuk istri kalian,” kata Umar, “Sungguhnya mereka–para istri–senang jika kalian berhias untuk mereka, sebagaimana kalian senang jika mereka bersolek untuk kalian.”
Ya, jika suami senang kepada istri yang cantik, maka istri juga senang bila suaminya tampan. Ada unsur saling terkait dan tertarik antara satu dengan yang lain. Sama-sama menginginkan keindahan. Semoga apa yang dilakukan oleh Ibnu Abbas berikut ini menginspirasi kita.
Suatu hari Ibnu Abbas menghadap cermin, mematut diri untuk memendekkan kumis dan merapikan jenggot. Ia ingin tampil menawan.
Nafi’ Maula Ibnu Umar yang mengetahui perbuatan adik sepupu Rasulullah ini heran dan bertanya ia, “Wahai Ibnu Abbas, takutlah kepada Allah akan apa yang engkau lakukan (merapikan jenggot), sedangkan orang-orang rela mendatangimu dengan kendaraan unta untuk bertanya!”
Maksud Nafi’ disini hendaknya Ibnu Abbas bisa menjaga diri dan tidak menyimpang dari perkara yang disunnahkan oleh Rasulullah, yakni menjaga adab dan tetap memegang teguh tali syariat.
Karena Ibnu Abbas adalah panutan dan tempat orang-orang bertanya tentang perkara agama. Jangan sampai rusak citra karena melenceng dari yang disunnahkan oleh Rasulullah Saw. Ibnu Abbas pun menjawab, “Aku berhias untuk istriku sebagaimana ia berhias untukku. Tindakkanku ini sesuai dengan ayat al-Qur’an.”
Merasa penasaran dengan jawaban Ibnu Abbas, Nafi’ berkata, “Tunjukkan ayat itu padaku!” Lalu Ibnu Abbas pun membaca ayat, “..Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf.” (QS al-Baqarah [2]: 228)
Sehingga para suami, berhiaslah demi istri. []