Oleh: SP Indriyaningsih, Boyolali
MALAM itu tak ada yang istimewa kecuali tatapanku pada sesuatu yang cukup menyedot seluruh isi jiwaku. Ya, suamiku berpamitan untuk memasuki kamar pengantinnya sambil mengatakan, “Titip anak-anak, ya Mi!”
Tangisku pun meledak saat itu juga. Sakit sekali. Dan aku pun terbangun sambil menangis dengan air mata berderai ditingkahi dengan ekspresi kebingungan suamiku.
Ini adalah sepenggal mimpi yang kualami pada malam ketujuh pernikahanku. Bagi sebagian orang, mimpi hanya dianggap sebagai bunga tidur. Bagi seorang mukmin mimpi baik adalah dari Allah dan mimpi buruk dari setan. Bagiku, sulit untuk mengklasifikasikannya sebagai mimpi baik atau buruk.
Suatu saat di sebuah forum ta’aruf, pihak ikhwan menanyakan pandangan sang ukhti tentang poligami. Di luar dugaan akhwat yang sudah lama tertarbiyah itu menjawab dengan mantap, “Langkahi dulu mayatku!” Di kesempatan lain ada umahat yang ditanyai suaminya, “Gimana kalau Abi nikah lagi?” Dengan kalem isterinya menjawab, “Sampun sekeco ngaten kemawon, Bi!” (Enakan gini ajalah, Bi).
Poligami! Mungkin ini kata yang paling ditakuti oleh sebagian besar wanita. Dan membaca judul di atas lebih banyak wanita yang mengucap na’udzubillah daripada insya Allah. Memang harus diakui, ketakutan ini pun ternyata juga melingkupi kalangan da’iyah alias aktivis dakwah. Wajar memang. Karena, rasa cinta sering membuat kita tidak ingin berbagi, apalagi berbagi suami.
Pernah di suatu majalah, termuat tulisan seorang umahat yang suaminya baru saja meninggal: “Hati saya yang sedih bertambah sakit melihat sikap umahat lain yang kelihatan sudah mulai was-was kalau suami mereka nanti akan menikahi saya.”
Dalam hidup ini kita dibebani untuk beribadah dan jadi khalifah. Dua tugas yang akan memuliakan, siapa pun yang berani dan sanggup memperjuangkannya. Termasuk dalam hal ini masalah poligami.
Membayangkan suami menikah lagi saat kita masih hidup adalah sesuatu yang mengerikan. Minimal, tidak menyenangkan. Apa kata orang tua, tetangga, kerabat. Hal ini wajar, karena kesan poligami di masyarakat kita masih sangat negatif. Tapi, hukum Allah tidak akan berubah. Poligami diperbolehkan, artinya tidak dilarang walaupun juga tidak dianjurkan. Menjaga batas bahwa ini diperbolehkan, itulah yang tidak mudah.
Sering tanpa sadar, kita telah membuat hukum poligami menjadi haram. Minimal, makruh dengan berbagai alasan. Sehingga, bila hal itu dialami oleh sebagian dari kita, kita merasa perlu untuk turut berduka cita.
Kisah yang luar biasa saya dapatkan ketika seorang umahat dari kota gudeg melepas suaminya menikah lagi. Saat tamu-tamu umahat menyalaminya dengan tangis di wajah, maka dia malah bertanya: “Kenapa menangis? Padahal, ini adalah momen yang membahagiakan?” Subhanallah, inilah jawaban yang menunjukkan kejujuran iman.
Bicara mengenai poligami dalam aplikasinya yang ‘nyunnah’, saya kira tidak ada masalah. Dalam hal ini tidak ada yang menyakiti dan disakiti. Tapi, ini hanya bisa terwujud bila ketiga belah pihak menempatkan diri sesuai dengan porsinya masing-masing. Dan, porsi di sini adalah syariat Allah. Ini tidak mudah, kecuali bila lapang dada Allah karuniakan pada semua pihak yang terlibat di dalamnya. Lurusnya niat untuk semata-mata memohon kebaikan di dunia, akhirat, serta dakwah, juga sangat menentukan keberkahan dari keputusan untuk berpoligami.
Kembali ke mimpi saya. Dari tujuh hari pernikahan sampai memasuki tahun ketujuh. Dari hidup berdua, sampai hidup berlima dengan tiga buah hati. Waktu yang cukup lama untuk belajar tentang banyak hal, terutama belajar bagaimana mencintai. Belajar untuk terus menambah rasa syukur atas kesempatan yang Allah berikan berupa karunia pendamping yang saleh. Belajar bahwa mencintai adalah keinginan untuk membahagiakan dan bukan sekadar keinginan untuk memiliki. Belajar bahwa was-was dan khawatir tentang apa pun yang akan terjadi adalah tipu daya setan. Maka, ketenangan pun merasuki seluruh jiwa dan raga.
Bila tahun-tahun awal pernikahan, canda suami tentang poligami selalu mendapat reaksi marah dan sedih. Terlepas, dari teori Ustadz Cahyadi, bahwa bila suami sering mengajak bicara soal poligami se- benarnya dia tidak benar-benar ingin melakukannya. Dan sebaliknya, jika suami jarang membicarakannya, kemungkinan besar dia malah benar-benar menginginkannya.
Saat ini, saya berharap bisa menjawab dengan arif, “Insya Allah, kalau itu akan membahagiakanmu dan akan menambah kecintaan Allah pada kita, maka aku jadi orang pertama yang akan mendukungmu untuk berpoligami.” []
Sumber: Majalah SAKSI, Jakarta