Abdul Warits, seorang pemuda asal Karawang yang tengah belajar menjadi pegiat kata, peternak kalimat di atas pena tinta tanpa batas.
KENALKAN nama saya Muhammad Ikhwanudin. Tapi panggil saja Ikhwan, biar lebih akrab. Usia saya, emhhh.
Ah, sudahlah teman-teman tidak perlu tahu berapa usia saya sekarang. Yang jelas sejak lama saya sudah berniat berumah tangga.
Alhamdulillah. Akhirnya saya menikah juga. Setelah penantian panjang menyendiri, meski pun lantunan do’a selalu terpanjat disetiap ba’da shalat, dan ikhtiar yang tak mengenal lelah. Dulu salah satu teman saya, ada yang pernah bilang “Istriku adalah mantan pacarku.” Tetapi tidak bagi saya. Karena saya menikah tanpa pacaran.
Sungguh sesuatu yang tak lumrah pada masyarakat umumnya, terkesan aneh bin ajaib. Sehingga saudara dan tetangga pada bertanya, “Ketemu dimana, kok acaranya mendadak banget?” Tak ada yang saya jawab satu pun pertanyaan mereka. Di rumah, saya memang tak banyak bergaul dengan anak-anak remaja lainnya, saya lebih suka diam di rumah. Jadi menurut mereka, mana mungkin saya buru-buru mendapatkan pendamping hidup.
Ungkapan itu pun pernah keluar dari bibir bapak saya sendiri, tapi saya santai saja karena saya ingin menikah tanpa pacaran. Dan itu kini terjadi, saya menikah dengan orang yang sama sekali tidak saya kenal sebelumnya, tapi mudah-mudahan berkah. Aamiin.
Karena proses yang terbilang sangat singkat, tanpa ada komunikasi antara saya dengan calon istri. Akhirnya setelah resmi menikah, istri saya bingung ketika akan membuatkan minuman untuk sarapan pagi. Dia tidak tahu apa yang saya sukai atau yang biasa saya minum. Apakah Susu, Kopi atau teh manis? Hehe, padahal saya doyan semua.
Akhirnya pada suatu pagi, saya sarapan dengan susu, kopi, lalu teh manis. Saya tersenyum melihat kelakuan istri saya pagi itu. Dan yang lebih lucunya lagi menurut saya, selama kurang lebih satu bulan saya belum bisa tidur berdekatan meskipun satu kamar, kami masih pada malu-malu. Selama itu kami hanya ngobrol-ngobrol selayaknya orang pacaran, meskipun sudah resmi suami-istri.
Subhanallah, seperti itulah yang disebut nikmatnya pacaran setelah menikah. Semua obrolan kami tidak ada yang terkesan basi, semuanya gress. Tumbuh rasa kasih sayang yang masih sangat utuh. Sekalipun kami berpegangan tangan kami tidak merasa risih. Toh kami sudah sah.
Nah, seperti itulah rasanya jika menikah tanpa pacaran. Tidak ada istilah, “Istri saya adalah mantan pacar saya.” Sekarang kita ganti dengan, “Istriku bukan mantan pacarku.”
Nah, sekarang apakah istri saya itu cantik? Dalam hal ini menurut saya, cantik itu relatif. []