Oleh: Budi Priadi
budipriadi.id@gmail.com
LAYAKNYA perahu layar, hidup berumah tangga tak ubahnya perjalanan panjang menuju dermaga yang dirindukan. Karang yang menghadang, ombak yang mendebur, badai yang menerjang tiada ampun, menjadi halangan yang mewarnai perjalanan. Ah… betapa ringkih hati ini jika bukan pada-Mu hamba berlindung. Jika bukan pada surga-Mu aku ingin berlabuh, jika bukan pada surga-Mu aku meletakkan rindu, mungkin hamba akan sendiri, terjerat dalam bujuk rayu setan tuk mengakhiri atap dan teras yang terajut dalam mimpi.
Istriku, jangan tidur ketika aku marah padamu. Bukan karena aku raja dalam hidupmu, tapi justru karena aku lelaki biasa yang sekarang bertitah menjadi suamimu. Aku hanya manusia yang kerap gagal mempertahankan sabarku. Mungkin benar jika sabar tiada batasnya, hanya kita yang sering gagal dalam sabar kita. Ya … itulah aku, si lemah yang kini bertitah menjadi imammu, dan yang kemarin bahkan mungkin esok, lusa, dan seterusnya akan masih sering gagal dalam sabarku.
Istriku, tidakkah kita merindukan seseorang yang sama? Lantas mengapa engkau menolak, sedang sabdanya jelas mengajarkanmu untuk menghormatiku. Istriku yang pada-Nya aku memintakan ampunanmu, tidakkah engkau tau bahwa dalam sabdanya Rasul berkata; “Ada tiga kelompok yang shalatnya tidak terangkat walau hanya sejengkal di atas kepalanya (tidak diterima oleh Allah). Orang yang mengimami sebuah kaum tetapi kaum itu membencinya, istri yang tidur sementara suaminya sedang marah kepadanya, dan dua saudara yang saling mendiamkan (memutuskan hubungan),” (HR. Ibnu Majah I/311 no. 971 dan dihasankan oleh Al-Albani dalam Misyakatul Mashabih no. 1128).
Istriku, tidakkah kita merindukan hidup kekal di tempat yang sama? Lantas mengapa angkuh masih saja menyelimuti lelapmu, sedang aku marah padamu. Ya … aku hanya manusia biasa yang gagal dalam sabarku. Namun, tidakkah engkau ingat bahwa aku imammu?
“’Maukah kalian aku beritahu tentang istri-istri kalian di dalam surge?’ Mereka menjawan: ‘Tentu saja wahai Rasulullah.’ Nabi berkata: ‘Wanita yang penyayang lagi subur. Apabila ia marah atau diperlakukan buruk atau suaminya marah kepadanya, ia berkata, ini tanganku di atas tanganmu, mataku tidak akan bisa terpejam hingga engkau ridha’” (HR. Ath Thabrani)
Duhai istriku yang namamu kini masih tertulis di Lauh Mahfudz, yang hadirmu kutunggu tuk sempurnakan ibadahku. Sungguh, bersamamu ingin kunikmati indahnya surga. Aku akan selalu menjadi nahkoda kapal kita, dengan satu ratu di dalamnya, dan beberapa pangeran serta putri yang Allah titipkan untuk kita. Sungguh, aku mendamba dan akan terus menjaga. Namun, nanti jika aku gagal dalam sabarku, jika marah menyelimuti ringkihnya jiwaku, jangan dulu tidur dengan berselimut angkuh. []