DI penghujung Ramadhan, umat Islam disyariatkan untuk melaksanakan i’tikaf. Apa dan bagaimana seluk beluknya?
Dari segi arti, i’tikaf secara bahasa berarti menetap pada sesuatu. Sedangkan secara syar’i, i’tikaf berarti menetap di masjid dengan tata cara yang khusus disertai dengan niat (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/1699).
Bagaimana hukumnya?
Ibnul Mundzir mengatakan, “Para ulama sepakat bahwa i’tikaf itu sunnah, bukan wajib kecuali jika seseorang mewajibkan bagi dirinya bernadzar untuk melaksanakan i’tikaf.” (Al Mughni, 4/456).
Sebuah hadis yang diriwayatkan Abu Hurairah, menyebut, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa beri’tikaf pada bulan Ramadhan selama sepuluh hari. Namun pada tahun wafatnya, Beliau beri’tikaf selama dua puluh hari”. (HR. Bukhari no. 2044)
Bagaimana dengan waktunya?
Waktu i’tikaf yang lebih afdhol adalah di akhir-akhir ramadhan (10 hari terakhir bulan Ramadhan) sebagaimana hadis ‘Aisyah, ia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf pada sepuluh hari yang akhir dari Ramadhan hingga wafatnya kemudian isteri-isteri beliau pun beri’tikaf setelah kepergian beliau.” (HR. Bukhari no. 2026 dan Muslim no. 1172)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir dengan tujuan untuk mendapatkan malam lailatul qadar, untuk menghilangkan dari segala kesibukan dunia, sehingga mudah bermunajat dengan Rabbnya, banyak berdo’a dan banyak berdzikir ketika itu. (Latho-if Al Ma’arif, hal. 338)
Apa yang dilakukan ketika i’tikaf atau bagaimana adabnya?
Hendaknya ketika beri’tikaf, seseorang menyibukkan diri dengan melakukan ketaatan seperti berdo’a, dzikir, bershalawat pada Nabi, mengkaji Al Qur’an dan mengkaji hadits. Dan dimakruhkan menyibukkan diri dengan perkataan dan perbuatan yang tidak bermanfaat. (Shahih Fiqh Sunnah, 2/150-158)
Dimana tempat untuk melaksankan i’tikaf?
I’tikaf Harus Dilakukan di Masjid. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala:
“(Tetapi) janganlah kamu campuri mereka sedang kamu beri’tikaf dalam masjid.” (QS. Al Baqarah: 187).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam begitu juga istri-istri beliau melakukan i’tikaf di masjid, dan tidak pernah di rumah sama sekali.
Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Para ulama sepakat bahwa disyaratkan melakukan i’tikaf di masjid.” (Fathul Bari, 4/271)
Termasuk wanita, ia boleh melakukan i’tikaf sebagaimana laki-laki, tidak sah jika dilakukan selain di masjid. (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/13775). []
SUMBER: SUMBER: RAMADHAN BERSAMA NABI | MUHAMMAD ABDUH TUASIKAL | RUMAYSHO