Assalamualaikum warahmatullohi wabarakatuh.
PAK Ustadz. Saya ibu rumah tangga sudah dikaruniai 2 orang putri. Beberapa bulan yang lalu ibu saya menyatakan hal yang membuat saya sangat kecewa bahwa saya adalah anak yang dihasilkan di luar nikah. Sementara saat saya menikah yang menjadi wali adalah ayah biologis saya, jadi ibu saya bilang pernikahan saya tidak sah dan harus menikah ulang dengan suami, dan akhirnya saya menikah ulang dengan suami.
Yang jadi pertanyaan, apa harus seperti itu, Pak Ustadz? Sementara sekarang saya sudah punya 2 anak. Dan ibu bilang putri-putri saya kelak saat menikah tidak bisa diwalikan oleh suami (bapak kandungnya ).
Saya dan suami sangat kecewa kenapa ibu baru bilang sekarang. Apa benar dalam Islam ada dosa yang diwariskan sehingga suami saya harus kena imbas dari dosa yang orang tua saya lakukan? Lalu apa berhak saya membenci orang tua saya atas perbuatannya? Mohon penjelasannya Pak Ustadz. Terima kasih.
<cacadanlulu@gmail.com
Wassalamualaykum warahmatullohi wabarakatuh, Ibu yang dirahmati Allah, doa kami selalu teriring semoga ibu dan keluarga senantiasa berada dalam lindungan Allah swt. Pertama kami turut prihatin atas perbuatan kedua orang tua ibu yang telah melakukan zina, dan zina dalam hukum pidana Islam termasuk tindak kejahatan (jarîmah) yang sanksinya telah ditetapkan oleh Allah (mahdûd) dalam Al-Qur’an. Zina termasuk salah satu dosa besar yang sudah diharamkan oleh Allah swt berdasarkan nash-nash al-Qur’an yang bersifat Qath’i (pasti). Hal ini dapat dilihat dalam al-Qur’an Surat an-Nur[24]: 2. Semoga Allah Swt. senantiasa mengampuni dosa kedua orang tua ibu.
Menurut pendapat kami, pernikahan ibu dengan suami sah hukumnya, sebab secara zhahir dan secara hitungan waktu, ketika ibu menikah dengan suami, kami yakin pernikahah ibu telah memenuhi sayaarat dan rukun nikah, apalagi jika nikanya resmi dicatat dalam lembaran negara sesuai dengan peraturan perundang-undangan No.1 tahun 1974. Akad nikah yang telah ibu lakukan sah secara aturan agama (fiqih) dan aturan negara (undang-undang).
Terkait setelah sekian tahun menjalani rumah tangga kemudian menyusul kabar berita bahwa ibu terlahir hasil hubungan tidak sah (baca:zina), dan kabar itu secara meyakinkan datang langsung dari ibu kandung selaku pelaku sejarah, maka secara hukum tetap saja informasi itu tidak serta merta secara sepihak dapat membatalkan (fasakh) pernikahan ibu dengan suami, karena hal itu memerlukan proses pembuktian di Pengadilan Agama secara sah dan meyakinkan berdasarkan putusan pengadilan yang mengikat.
Selama belum ada putusan pengadilan yang mengikat terkait status pernikahan ibu, maka status pernikahan ibu sah secara meyakinkan dan tidak boleh ragu apalagi mengulang akad nikah secara sepihak. Hal ini berdasarkan kaidah Fiqih madzhab Sayaafi’I yang menyatakan,
الأصل بقاء ما كان على ما كان
“Hukum Asal itu tetap seperti keadaan pada awalnya.”
Kaidah fiqih di atas menjelaskan bahwa hukum pernikahan ibu sah selama belum ada putusan hakim yang membatalkannya. Jika orang tua ibu bersih keras menyatakan batal status hukum pernikahan ibu, maka bagi ibu dan suami tinggal menunggu pembuktian saja dari kedua orang tua ibu yang menuduh secara sepihak untuk menggugat dan membuktikan dakwaannya di Pengadilan Agama. Hal ini berdasarkan kaidah hukum acara yang menyatakan:
البينة على المدعي واليمين على من أنكر
“Bukti itu bagi penggugat dan sumpah bagi tergugat.”
Dan jika setelah proses persidangan di pengadilan ternyata terbukti, maka langkah selanjutnya ibu dan suami tinggal melaksanakan perintah hakim yang jelas sudah mengikat, selama belum ada, maka status pernikahan ibu kembali ke hukum asalnya.
Dari penjelasan di atas, dapat diambil hikmah yang sangat penting dan berharga yaitu perihal fungsi dan keberadaan negara melalui lembaga Peradilan harus hadir dalam menyelesaikan konflik dan sengketa yang menimpa anggota masayaarakat. Disanalah peran peradilan sebagai perpanjangan tangan dari negara diperhitungkan keberadaannya dalam menyelesaikan sengketa yang terjadi di tengah masayaarakat dari mulai urusan privat (pribadi) sampai urusan publik, baik yang bersifat perdata atau pidana.
Oleh karena itu, jika negara tidak hadir dalam urusan ini, atau tidak berfungsi sebagaimana mestinya, maka yang akan terjadi adalah orang secara gegabah akan mudah menuduh orang lain bersalah tanpa proses hukum, dan jika hal ini terjadi di tengah-tengah masayaarakat, maka akan lahir suatu keadaan yang sering diistilahkan degan “main hakim sendiri.”
Maka disanalah keberadaan negara menjadi penting, sebab menurut Imam al-Mawardi negara berfungsi untuk mewujudkan kemaslahatan dengan cara menjaga urusan agama dan mengurus urusan dunia (li hirâsah al-Dîn wa siyâsah al-Dunyâ).
Selanjutnya terkait dengan status hukum keturunan hasil pernikahan ibu tetap dinyatakan sah, sebab status hukum pernikahannya sah. Perlu di ingat, bahwa dalam ajaran Islam tidak dikenal istilah dosa turunan sebab al-Qur’an menyatakan,
ولا تزر وازرة وزر أخري
“Seseorang tidak dapat menanggung beban dosa orang lain.”
Wallahu a’lam bi al-Shawab. []