PERTAMA kali dapat kabar di pondok, anakku Altaf sangat ceria dan aktif. Tiba-tiba semuanya berubah kacau. Altaf menangis terus minta pulang. Hati ibu siapa yang tak gamang dapat info dari pondok dan ditelepon dengar anaknya menangis?
Hari kunjungan pertama datang. Maksud hati untuk menghibur. Tapi ternyata kondisinya malah makin hancur. Belum lagi tekanan dari sana sini mulai muncul, “Bu kalau anaknya begini terus nanti pengaruh ke yang lain?”, “Bawa pulang aja dulu nanti kalau sudah tenang baru balikin lagi biar gak ganggu yang lain, nanti yang lain ikutan gitu juga kan repot kitanya?”, “Ini kali dipaksa ya Bu masuk pondok? Jangan dipaksa Bu, jadinya malah gini”, “Ini anak dimanja banget kali ya Bu? Kalau dimanja ya susahlah.. malah ganggu yang lain”. Ada juga yang bilang, “Udah Bu tinggalkan aja anaknya nanti malah makin aleman”. Berbagai komentar sesama orang tua pun bikin kita sebagai ibu makin terpuruk.
Sepanjang perjalanan pulang, sepanjang malam sampai pagi nyari masukan solusi pemecahannya. Kebanyakan masukan: “Jangan ditengokin lagi, biarin aja nanti juga lama-lama betah”, “Gak usah menelepon dan ditelepon, nanti malah makin sedih anaknya”, “Jangan kelihatan care nanti dia malah makin homesick”, “Tegasin sama anak, kasih ultimatum ancam kalau dia begitu kita malah gak bakalan telepon atau jenguk apalagi bawa pulang”. Berharap mendapatkan ketenangan ternyata malah semakin bimbang.
BACA JUGA: Kamu Sama Aja dengan Tetanggamu
Kepala berdenyut, tubuh lemas, dalam sujud dan doa tak sepatah kata bisa terucap. Cuma cucuran air mata…. Tapi Allah pasti maha tahu apa yang kubutuhkan.
Pesan WA seorang teman sedikit menenangkan, “Er, Sabtu biasanya di sana jadwal cuma sampai habis Dzuhur. Berangkat pagi, biar dia pulang sudah lihat kamu, itu biasanya membantu bangun mood dia…”
“Tapi ustadz bilang jam 2 baru selesai, aku mau berangkat habis Dzuhur…” jawabku.
“Gak usah ngeyel, berangkat pagi… Nanti di sana kamu lihat sendiri bener gak apa yang kubilang.”
Kucoba pertimbangkan untuk mengikuti nasihatnya. Tapi lagi-lagi muncul penilaian negatif dan ucapan menyakitkan jadi hidangan datang dari orang yang tidak paham apa sebenarnya yang terjadi apalagi solusi penyelesaian masalah ini.
Akhirnya kuputuskan berangkat pagi sesuai nasihat temanku. Sepanjang perjalanan, rasa lelah yang menghimpit dan tangki bensin yang tinggal 1 balok membuatku berhenti di pom bensin. Lalu kuparkir kendaraan di masjid yang ada disana. Aku turun dan berwudhu untuk menenangkan hati dan shalat Dhuha. Lagi lagi tak sanggup aku meminta kecuali jatuhnya air mata.
Tiba-tiba ada tangan mengusap punggungku, “Istighfar Neng…”. Dengan suara lembutnya, seorang ibu sudah berumur masih menggunakan mukena. Entah kenapa aku malah memeluknya dan menangis di pelukannya. Tangisanku pecah tanpa kata-kata. Beliau hanya terus menuntunku…
“Astagfirullahaladzhim… hasbunallah wa ni’mal wakiil… ayo Neng… istighfar,” katanya sambil memelukku dan mengusap punggungku hingga aku tenang.
Setelah aku tenang beliau bertanya, “Kenapa Neng?”
Aku pun bercerita detail mulai bagaimana Altaf minta dimasukan pesantren, lalu dia memilih sendiri pondoknya, lalu tiba-tiba dia berubah dan berbagai tekanan yang aku hadapi.
Beliau mendengarkan sambil sesekali mengusap lenganku….
BACA JUGA: Aku Merasa Dibuang
Lalu beliau bercerita…. “Anak ibu 7. Ibu bukan orang punya. Tapi ibu sama bapak komitmen mau mendidik anak -anak dengan mengedepankan ahlak. 7 anak ibu masuk pondok, bukan kaya pondok sekarang yang mewah-mewah. Lihat pondoknya cucu sekarang semuanya serba enak. 7 anak 7 karakter 7 masalah awal masuk pondok yang beda. Tapi semua sama intinya, masalah adaptasi dan kangen rumah.
“Tapi walau inti masalahnya sama, cara menyelesaikannya jauh berbeda satu sama lain. Anak kita bukan kue yang bisa pakai cetakan sama nanti hasilnya sama semua. Anak kita manusia yang punya hati, jangan sampai cetakan orang lain disamain sama cetakan anak kita, karena anak orang lain pastinya dididik dan dibesarkan dengan cara yang lain juga dengan anak kita. Terima aja semua masukan, tapi kita paling tahu apa yang memang harus kita lakukan.
“Ibu cuma cerita pengalaman ibu aja ya, gak nyuruh eneng ngikutin dan lakukan yang ibu lakuin, tapi siapa tahu ada yang cocok yang bisa jadi solusi.
“Yang paling tahu sifat anak itu ibunya, yang paling tau gimana menangani anak ya ibunya, jadi dengerin kata hati bukan kata orang. Karena anak itu buah hati kita bukan buah hati orang lain. Eneng juga gitu, gak bisa kita nasihatin apalagi nyalahin orang gimana memperlakukan anak mereka, karena kita gak tau gimana mereka dan gimana kondisi keluarga mereka, kondisi dan zaman selalu berubah, kehidupan setiap orang juga beda-beda. Kalau kata orang sekarang yang begitu itu sok tahu… Apalagi menilai keikhlasan dan sikap orang lain, karena ikhlas itu bukan ucapan, bukan apa yang kita lihat tapi apa yang ada diantara hatinya sendiri dan Allah.
BACA JUGA: Ibu, Ibu, Aku Pulang, Kenapa Ibu Pergi?
“Ibu dulu suka kesal kalau ada yang bilang, ibunya kali gak ikhlas ngelepasin anak, ibunya kali gak percaya sama pondok, jadi anak gak kerasan. Walaupun sebenarnya mungkin niatannya baik tapi kalau ke hati ibu rasanya lebih ke arah setengah menghakimi. Padahal banyak yang ibunya berat melepas anak, anaknya happy. Ada yang sangat siap melepas anak, anaknya malah gak siap.” []
BERSAMBUNG