TEKAD laki-laki berbadan kekar itu bulat. Pikiran dan hatinya telah kompak. Iya, “Aku harus membunuh Muhammad,” teriaknya setiap ada yang bertanya kepadanya. Laki-laki itu bernama Tsumamah bin Itsal dari Kabilah al-Yamamah.
Ia pergi ke Madinah dengan satu tujuan, membunuh Rasulullah. Segala persiapan telah matang, persenjataan sudah disandangnya, dan ia pun sudah masuk ke kota suci tempat Rasulullah tinggal itu.
Setelah sampai di Madinah, ia berapi-api, semangat berkobar mencari majelis Rasulullah. Setelah ia berhasil medatanginya. Umar bin Khathab yang melihat gelagat buruk dari Tsumamah menghadangnya, “Apa tujuan kedatanganmu ke sini? Bukankah engkau seorang musyrik?”
Dengan lantang dan penuh percaya diri, Tsumamah menjawab, “Aku datang ke sini hanya untuk membunuh Muhammad.”
Mendengar perkataannya, Umar langsung memberangusnya. Tsumamah tak sanggup melawan Umar yang perkasa, ia tak mampu mengadakan perlawanan. Umar berhasil merampas senjatanya dan mengikat tangannya kemudian dibawa ke masjid. Setelah mengikat Tsumamah di salah satu tiang masjid, Umar segera melaporkan kejadian tersebut kepada Rasulullah.
Rasulullah dengan segera tapi tetap penuh ketenangan keluar menemui orang yang bermaksud membunuhnya itu. Setibanya di tempat pengikatannya, beliau mengamati wajah Tsumamah baik-baik, sementara Tsumamah menatap tajam tanpa hormat kepada Rasulullah. Kemudian beliau berkata pada para sahabatnya, “Apakah ada di antara kalian sudah ada yang memberinya makan?”
“Makanan, wahai Rasulullah? Bukankah orang ini datang kemari untuk membunuh engkau?” kata Umar penuh kekagetan.
Rasulullah tersenyum, dan beliau kembali berkata, “Tolong ambilkan segelas susu dari rumahku, dan buka tali pengikat orang ini.”
Perasaan heran masih menghuni Umar, tapi ia pun tetap mematuhi perintah Rasulullah. Setelah segelas susu dihadirkan, dengan lembut Rasulullah memberikan kepada Tsumamah, beliau meminumkannya dengan tangan mulia beliau. Rasulullah dengan senyum penuh santun berkata kepadanya, “Ucapkanlah La ilaha illa Allah (Tiada Tuhan selain Allah).”
Tsumamah menjawab dengan ketus, “Aku tidak akan mengucapkannya.”
Rasulullah membujuk lagi, “Katakanlah, ‘Aku bersaksi tiada ilah selain Allah dan Muhammad itu Rasul Allah.”
Namun Tsumamah tetap berkata dengan nada keras, “Aku tidak akan mengucapkannya!”
Para sahabat Nabi yang turut menyaksikan tentu saja menjadi geram terhadap orang yang tak tahu untung itu. Terutama Umar bin Khattab. Tetapi Rasulullah malah membebaskan dan menyuruhnya pergi. Tsumamah yang musyrik itu bangkit seolah-olah hendak pulang ke Negrinya.
Tetapi belum berapa jauh dari masjid, dia kembali kepada Rasulullah dengan wajah ramah berseri. Ia berkata, “Wahai Rasulullah, “Aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad utusan Allah (dua kalimat syahadat).”
Rasulullah tersenyum dan bertanya, “Mengapa engkau tidak mengucapkannya ketika aku memintanya kepadamu?” Tsumamah menjawab, “Aku tidak mengucapkannya ketika masih belum engkau bebaskan karena khawatir ada yang menganggap aku masuk Islam karena takut kepadamu. Namun setelah engkau bebaskan, aku masuk Islam semata-mata karena mengharap keridhaan Allah Rabbul ‘alamin.”
***
Inilah di antara cermin mempesona akhlak Rasulullah. Betapa mulia dan agung prilaku beliau. Inilah manusia terbaik di dunia, beliau selalu berprinsip membalas kebaikan dan kebaikan, dan selalu menjadi pemaaf, bahkan kepada orang yang jelas ingin membunuhnya. Benar saudaraku, karena segala yang dibalas dengan kebaikan, akan melahirkan kebaikan. Jika tidak engkau yang mendapatkan kebaikan, anak, keluarga dan orang-orang terdekat yang merasakannya. Allah swt berfirman, “Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri dan jika kamu berbuat jahat, maka (kejahatan) itu bagi dirimu sendir.” (al-Isra’ : 7)
Hidup adalah pilihan; berbuat kebaikan dan niscaya Anda akan meraihnya, atau dengan keburukan dikedepankan dan niscaya pengaruhnya ke arah Anda sendiri berlaku. Maka ketika Abu Abdillah al-Jadali bertanya kepada Aisyah tentang akhlak Rasulullah. Aisyah ra menjawab, “Rasulullah tidak pernah bicara dan berlaku kotor. Beliau tidak pernah mengangkat suara, sekalipun itu di pasar. Beliau tidak pernah membalas kejahatan dengan kejahatan. Beliau pemaaf dan lapang dada.” (HR Tirmidzi dan Ahmad).
Memaafkan adalah pilihan yang cukup sulit untuk dilakukan, terutama bila berkenaan dengan kesalahan yang sangat berat dan menorehkan luka yang dalam di hati kita. Benar, lebih mudah meminta maaf daripada memaafkan bukan? Tapi Islam justru memerintahkan kita menjadi mengambil sikap memaafkan orang lain. Allah swt memerintahkan kita, ”Tetapi, orang yang bersabar dan memaafkan, sesungguhnya (perbuatan) yang demikian itu termasuk hal-hal yang diutamakan.” (asy-Syura: 43).
Inilah kemuliaan yang agung, inilah pesona yang tertinggi, yaitu menjadi pemaaf. Pernah saat bersama para sahabatnya, Rasulullah pernah bersabda, ”Maukah kalian aku beri tahu sesuatu yang menyebabkan Allah memuliakan dan meninggikan derajatmu?” Para sahabat menjawab, ”Tentu, wahai Rasulullah.” Rasulullah lalu bersabda, ”Bersabar terhadap orang yang membencimu, memaafkan orang yang menzalimimu, memberi kepada orang yang memusuhimu, dan menyambung silaturahim dengan orang yang memutuskan silaturahim denganmu.” (HR. Thabrani).
Karena itu, sejatinya di antara proses utama menjadi pemenang adalah menang dalam hubungan dengan sesama. Selain silaturahim, juga ada tradisi saling meminta dan memaafkan. Mengingat Allah tidak memafkan dosa-dosa yang terkait dengan sesama manusia, kecuali telah terjadi saling memafkan di antara mereka. Inilah jalan menuju takwa, karena di antara tanda orang-orang yang bertakwa adalah siapa yang senang memafkan kesalahan sesamanya. Allah berfirman, ”Dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (Ali Imran: 133-134). Percayalah, memafkan tiu adalah ksatria, mulia, dan luhur. Memaafkan bukan tentang kalah atau menang, tapi tentang takwa dan kebaikan. []