Oleh: Mawar Dani – Pegiat tulis berdomisili di Asahan
SIANG itu selepas jam istirahat, seorang ibu dengan lelaki berumur sekitar 25an tahun datang. Dalam hati sudah menduga mungkin menambah daftar calon pernikahan seperti yang di atas telah disebutkan.
“Ada yang bisa dibantu, Bu?” tanyaku padanya.
“Mau mengurus surat rekomendasi nikah, Bu. Perempuan boleh?”
“Tentu saja boleh. Persyaratannya yang penting sudah mendapat surat model N dari kelurahan,” jelasku. “Yang mau nikah Ibu?” tanyaku lagi.
“Oh … bukan … bukan saya, Bu. Tapi anak.”
Aku cuma meng-oh-kan saja. Rekomendasi nikah adalah surat keterangan numpang nikah apabila calon pengantin melakukan pernikahan di wilayah/kecamatan lain. Biasanya yang sering mengambil surat keterangan ini pihak pria.
Setelah surat dari kelurahan tersebut aku periksa, tak lama kemudian rekomendasi itu aku kerjakan. Sambil mengerjakan entah kenapa aku mulai kepo-istilah sekarang- pada beliau. Terkait biasanya yang mengurus surat ini pihak pria.
“Kenapa anak Ibu yang menikah di luar kenapa bukan pria itu yang kemari?”
“Itu lah, Bu. Namanya demi anak, saya nurut aja dari pada ribut dengan Bapaknya.”
Wah, ini pasti mulai rumit. Satu kalimat itu sebenarnya sudah menghentikan mulutku untuk bertanya lebih lanjut. Ditambah lagi dengan rasa bersalah karena setelahnya si Ibu kemudian menangis.
“Kok nangis, Bu? Saya minta maaf jika sudah menyinggung,” tuturku.
“Gak apa-apa, Bu. Saya cuma sedih, punya anak perempuan satu-satunya kok gak nurut. Disuruh kuliah gak mau malah milih cepat kawin. Kalau calonnya waras mending. Ini?”
Airmata beliau semakin deras. Surat telah selesai aku kerjakan. Sementara beliau masih melanjutkan curhat dadakan itu dan aku masih tetap mendengarkan.
“Kalau boleh tahu calon menantu Ibu orang mana?”
“Desa X Kabupaten Y. Mereka kenal katanya lewat facebook, sering chatting, Ibu gak ngerti yang gituan. Katanya anak baik, tapi kok gitu.”
“Gitu-nya seperti apa?”
“Tampilannya koyo wong gendheng, pakai anting, hidungnya ditindik. Gak punya pekerjaan, pokoknya gak ada yang bikin tenang hati. Suami saya gak ridha sampai kapan pun, saya mengalah mengurus surat ini karena anak saya mengancam akan lari jika dia tidak dinikahkan.”
“Lalu?”
“Namanya seorang Ibu, Bu, gimana pun juga dia tetap anak saya. Saya biarkan dulu dia begini, biar mengerti dulu kalau pernikahan itu gak semudah yang dibayangkannya. Jika nanti mereka cerai kami masih siap kok menerima kembali.”
“Ya jangan didoakan yang buruk dong.”
“Mau gimana lagi, Bu, saya sedih, kecewa. Saya dan Bapaknya pengen punya anak perempuan yang sarjana, karena kedua kakaknya gak sanggup kuliah.”
Dan masih panjang lebar beliau menceritakan soal kepedihan hati yang ditorehkan putri semata wayangnya. Terlihar gurat kecewa yang luar biasa. Sampai sebegitu beraninya kah mengancam akan lari jika tidak dinikahkan dengan pria ‘aneh’ tadi? Sudah sejauh dan sedalam apa kasih sayangnya pada orangtua?
Melalui kisah ini, mari kita renungkan masing-masing pelajaran apa yang bisa dipetik. Ambil hikmah dari nukilan kejadian nyata ini. Tidak bermaksud membuka aib, sebab di dalamnya ada ibrah yang luar biasa. Renungkan! []
Kirim RENUNGAN Anda lewat imel ke: islampos@gmail.com, paling banyak dua (2) halaman MS Word