PEPATAH mengatakan terpelesetnya kaki jauh lebih baik dibanding terpelesetnya lisan, memang demikian. Pasalnya, mengobati luka yang timbul dari lisan tak cukup mudah untuk diobati dibandingkan organ tubuh yang lainnya, meski terkadang secara lahirnya telah memberi maaf, namun terkadang memaafkan bukan berarti melupakan apa yang telah terjadi.
Dengan itu maka menjaga lisan dari perkataan yang dapat menyakiti orang lain sangat penting untuk diperhatikan. Rasulullah dalam hadisnya menganjurkan kepada kita selaku umatnya, agar selalu berkata dengan perkataan yang memiliki nilai positif, atau setidaknya jika belum bisa berkata demikian, lebih baik untuk diam.
“Barang siapa yang beriman kepada Allah Swt. Dan hari akhir, maka hendaklah ia berkata dengan perkataan yang baik, atau hendaklah ia diam” ( HR. Bukhari).
BACA JUGA: Jagalah Lisanmu Sebelum Ia Membinasakanmu
Mengenai hadis di atas, Imam Syafii menjelaskan bahwa, jika seseorang ingin mengatakan sesuatu, maka hendaklah ia memikirkan terlebih dahulu apa yang hendak ia ucapkan, jika kira-kira baik dan memiliki efek yang positif maka ucapkanlah, namun jika bahkan menimbulkan kegaduhan atau menyinggung orang lain, maka lebih baik ia simpan rapat-rapat dalam hatinya sendiri.
Hendaknya setiap kita senantiasa menjaga diri dari berbicara atau menuliskan komentar yang tidak jelas manfaatnya. Kita tidaklah berbicara kecuali dalam hal-hal yang memang kita berharap ada manfaat untuk agama (diin) kita. Ketika kita melihat bahwa suatu perkataan itu tidak bermanfaat, maka kita pun menahan diri dari berbicara (alias diam). Kalaupun itu bermanfaat, kita pun masih perlu merenungkan: apakah ada manfaat lain yang lebih besar yang akan hilang jika saya tetap berbicara?
Sampai-sampai ulama terdahulu mengatakan bahwa jika kita ingin melihat isi hati seseorang, maka lihatlah ucapan yang keluar dari lisannya. Ucapan yang keluar dari lisan seseorang akan menunjukkan kepada kita kualitas isi hati seseorang, baik orang itu mau mengakui ataukah tidak. Jika yang keluar dari lisan dan komentarnya hanyalah ucapan-ucapan kotor, sumpah serapah, celaan, hinaan, makian, maka itulah cerminan kualitas isi hatinya.
Yahya bin Mu’adz rahimahullahu Ta’ala berkata,
“Hati itu bagaikan periuk dalam dada yang menampung isi di dalamnya. Sedangkan lisan itu bagaikan gayung. Lihatlah kualitas seseorang ketika dia berbicara. Karena lisannya itu akan mengambil apa yang ada dari dalam periuk yang ada dalam hatinya, baik rasanya itu manis, asam, segar, asin (yang sangat asin), atau selain itu. Rasa (kualitas) hatinya akan tampak dari perkataan lisannya.” (Hilyatul Auliya’, 10: 63)
BACA JUGA: Muslimah, Cantik Wajahnya Cantik pula Lisannya
Sebagian orang bersikap ceroboh dengan tidak memperhatikan apa yang keluar dari lisan dan komentar-komentarnya. Padahal, bisa jadi ucapan lisan itu akan mencampakkan dia ke jurang neraka sejauh jarak timur dan barat. Contohnya, dalam hadits Jundab radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Pada suatu ketika ada seseorang yang berkata, “Demi Allah, sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni si fulan.” Sementara Allah Ta’ala berfirman, “Siapa yang bersumpah dengan kesombongannya atas nama-Ku bahwasanya Aku tidak akan mengampuni si fulan? Ketahuilah, sesungguhnya Aku telah mengampuni si fulan dan telah menghapus amal perbuatanmu.” (HR. Muslim no. 2621)
Hamba tersebut, yang rajin beribadah, hapuslah seluruh amalnya hanya karena satu kalimat atau satu ucapan yang ceroboh tersebut.
Maka benarlah bahwa keselamatan itu adalah dengan menjaga lisan. Sahabat ‘Uqbah bin ‘Aamir radhiyallahu ‘anhu bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah keselamatan itu?”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Jagalah lisanmu, hendaklah rumahmu membuatmu merasa lapang (artinya: betahlah untuk tinggal di rumah), dan menangislah karena dosa-dosamu.” (HR. Tirmidzi no. 2406, shahih)
Betapa banyak kita ceroboh dalam memposting, berkomentar di sana sini, namun tulisan-tulisan itu berbuah penyesalan, kemudian kita pun harus sibuk klarifikasi sana-sini, sibuk mencari-cari alasan agar bisa dimaklumi, juga sibuk meminta maaf atas perasaan saudara dan teman yang terluka atas komentar dan ucapan kita. Sesuatu yang harusnya tidak terjadi ketika kita selalu menimbang dan berpikir atas setiap ucapan dan komentar yang hendak kita ucapkan dan tuliskan.
BACA JUGA: Kompensasi Berat Atas Buruknya Lisan di Media Sosial
Oleh karena itu, ketika salah seorang sahabat datang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bertanya, “Ajarkanlah (nasihatilah) aku dengan ringkas saja.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Apabila kamu (hendak) mendirikan shalat, maka shalatlah seperti shalatnya orang yang hendak berpisah. Janganlah kamu mengatakan suatu perkataan yang akan membuatmu harus meminta maaf di kemudian hari. Dan kumpulkanlah rasa putus asa dari apa yang di miliki oleh orang lain.” (HR. Ibnu Majah no. 4171, hadits hasan)
Seorang ahli hikmah mengatakan, berbicara tanpa dilandasi pemikiran yang matang merupakan sebuah kesalahan yang fatal, mengapa demikian? Karena faktanya tidak sedikit orang yang hancur dikarenakan hanya dengan ucapannya mereka sendiri. Dan dengan lisan juga potensi terbesar penyebaran berita hoaks, padahal dalam Islam ataupun konteks kemanusiaan menyebarkan berita bohong merupakan perbuatan yang terlarang. []