Oleh: Chudori Sukra
Pengasuh Pondok Pesantren Riyadlul Fikar, Serang, Banten
Anggota Mufakat Budaya Indonesia (MBI) perwakilan Banten
chudorisukra@gmail.com
SEMUA orang tahu bahwa Alen Keret itu seorang yang cerdas dan jenius. Tapi sedikit orang tahu bahwa ia penganut Yahudi dan berkebangsaan Israel. Banyak penulis Indonesia yang memuji-muji karya Alen, bahkan tidak sedikit yang menginginkan dirinya menjadi murid dan pengikutnya yang setia.
Suatu kali Alen menulis cerpen yang menghebohkan, dan diterbitkan oleh koran nomor satu di republik Indonesia. Judulnya sederhana, “Jambu Air”. Setelah terbit pada hari Minggu, 18 April 2021 kontan banyak penulis segera menerjemahkan karya tersebut dalam bahasa Inggris. Memperhatikan antusiasme banyak penulis terhadap cerpen “Jambu Air” ditambah dengan kepopuleran pengarangnya, maka koran terdepan Amerika The New York Times akhirnya menampilkan juga pada beberapa minggu berikutnya.
Cerpen Jambu Air dianggap menarik oleh kebanyakan penulis lantaran muatan diksi dan estetika yang merupakan khas buah pena seorang jenius Alen Keret. Ya, siapa lagi kalau bukan dia yang bercerita tentang tumbuhnya pohon jambu air di perbatasan Jalur Gaza yang sering dinaiki dan diambil buahnya oleh anak-anak warga Palestina yang nakal dan urakan. Tokoh selanjutnya tampil seorang nenek berusia 75-an, menyuruh anaknya, Henry, agar mengenakan seragam tentara Israel, lalu segera mengusir anak-anak yang bengal-bengal itu.
BACA JUGA:
“Sudahlah, Bu, saya ini bukan tentara lagi, untuk apa pakai seragam tentara?” kata Henry menolak.
“Meskipun kamu sudah dikeluarkan dari tentara, tapi pakailah seragammu itu supaya anak-anak itu takut, dan tidak lagi bermain-main di pekarangan rumah kita!” bentak sang ibu.
“Saya ini sudah dinonaktifkan, Bu, artinya sudah diusir dan dikeluarkan dari dinas kemiliteran…”
“Ibu tahu semuanya itu, Nak… Ibu paham!” suaranya makin merlengking, “Kamu itu sejak dulu memang nggak becus, lembek dan loyo… kamu itu selalu mengalah pada adik-adikmu tiapkali bertengkar atau memperebutkan satu buah jambu. Makanya, Ibu sudah menduga kalau kamu bakal tidak becus di dunia kemiliteran. Kamu tidak akan berani menembak apapun, bahkan seekor burung yang terbang di atas pohon sekalipun. Padahal seorang tentara itu tak perlu punya rasa tega atau rasa kasihan… kamu harus berani menembak, Henry… kamu jangan seperti banci!”
“Sudah saya bilang, Bu, saat ini saya bukan tentara lagi…”
“Itulah salahmu sendiri! Akhirnya kamu sadar juga kekuranganmu, bencong!”
“Hati-hati bicara, Bu, bencong juga sama-sama manusia…”
“Di situlah letak kelemahanmu!”
Karena merasa terenyuh demi menghormati orang tua yang sudah uzur, Henry pun akhirnya menurut juga. Ia masuk kamar dan memakai seragam tentara Israel yang sudah bertahun-tahun tak disentuhnya di dalam lemari. Sang ibu tersenyum sambil menyematkan lencana di atas bahu dan dada kirinya. “Dadamu masih tegap dan bidang, Nak, kamu sebenarnya masih pantas untuk bertugas di kemiliteran.”
“Sudahlah, Bu….”
“Ayo cepat keluar sana! Tunjukkan sifat laki-lakimu pada anak-anak brengsek itu!”
Ada tujuh anak-anak dan remaja di serambi halaman rumah. Dua di antara mereka sedang berada di atas pohon jambu, memetiki buah-buahnya sambil memakan dan menjatuhkan sebagian lainnya kepada teman-teman di bawahnya. Mereka saling bercanda, berteriak-teriak dan saling melempar buah jambu satu sama lain. Melihat Henry keluar rumah dengan mengenakan seragam tentara, tidak seorang pun dari mereka yang menampakkan rasa gentar dan takut. Justru mereka tertawa terkekeh-kekeh sambil menunjuk-nunjuk muka Henry dan meneriakinya sebagai badut.
Dua orang dari mereka menarik-narik baju tentara itu hingga robek pada lengan kanannya. Seorang lagi melempari Henry dari atas pohon jambu sambil tertawa terbahak-bahak.
“Anak-anak, turun dari pohon itu… nanti kalian jatuh…,” suara Henry agak tercekat.
Mereka tidak peduli. Beberapa jambu busuk dilemparkan ke muka Henry, hingga mukanya bercelomot jambu berikut belatung-belatungnya. Belum sempat ia membersihkan mukanya, seorang remaja yang berbadan kekar dan tinggi menghampirinya dan kontak memukul muka Henry. Seorang lagi mendekat, dan seperti menguasai jurus-jurus pencak silat, ia berhasil menjatuhkan tubuh Henry hingga terpelanting ke tanah.
BACA JUGA: Laporan: Tiap Tahun Terjadi 2.000 Kasus Kanker di Gaza
Anak-anak lainnya segera menyerbu sambil memukuli dan menginjak-injak kepala Henry sambil berteriak-teriak keras: “Ini tanah kami… ini tanah orang tua kami…! Pergi kamu dari sini… pergi…!”
Muka Henry lebam-lebam dan bercelomot darah. Pelan-pelan ia berdiri, kemudian terhuyung-huyung, dan seketika jatuh pingsan.
Ia tersadar dan pelupuk matanya terbuka ketika mendengar suara tembakan senapan laras panjang dari arah pintu rumah. Si ibu memberi peringatan bagi anak-anak Palestina itu dengan beberapa kali suara tembakan hingga mereka lari terbirit-birit.
Sambil berjalan sempoyongan ke arah pintu, Henry terheran-heran menatap ibunya, “Dari mana senapan itu, Bu?”
Dengan suara mendesah, si ibu menjawab, “Ini senapan peninggalan ayahmu. Sengaja Ibu menyimpannya untuk berjaga-jaga…”
“Tapi dari mana Ibu belajar menembakkan senapan itu?”
“Ibu pernah diajari mendiang ayahmu dulu…”
“Untuk berjaga-jaga?”
“Ya, tepat sekali. Kita semua harus menjaga leluhur dan keturunan kita di tanah air yang mulia ini.”
***
Ketika cerpen Jambu Air itu tampil di harian The New York Times, dalam waktu singkat kontan menyebar luas melalui media sosial, dan diterjemahkan pula ke puluhan bahasa dunia. Kemudian setelah diterjemahkan ulang ke dalam bahasa Indonesia, banyak penulis kita terkagum-kagum dibuatnya. Ada yang menilai, itulah ciri khas dari realisme sosial yang merupakan hasil buah pena sang jenius Alen Keret. Ada juga yang membanggakan penulis berkebangsaan Israel itu lantaran karya-karyanya yang surealis dan sangat populer sedunia.
Ada juga penulis yang latah dan genit memilih jalur ekstrim dengan terlampau mengultuskan Alen Keret. Sehingga dirinya mengeluarkan karya sehaluan yang dibaca oleh ribuan penulis kita, berjudul “Anak-anak yang Jahat”. Karya itu cenderung skeptis dan apatis memandang anak-anak masakini, namun kadung terbit di harian terkemuka, dan mengilhami ribuan intelektual dan penulis Indonesia lainnya, baik tua maupun muda, senior maupun yunior.
Apresiasi sastra yang menembus sekat dan batas-batas negara dan benua, membuat Alen Keret tak tinggal diam. Ia menulis karya berikutnya dengan tema yang cukup panjang, “Siapakah harus bertanggungjawab, jika nasib buruk justru menimpa tokoh-tokoh yang baik?”
BACA JUGA: Legenda Sepakbola Eric Cantona Dukung Palestina
Di masa pandemi Corona yang menjangkiti masyarakat dunia hingga hari ini, karya-karya Alen Keret menjadi laris manis, terutama bagi orang-orang yang tergesa-gesa dan tidak sabar. Menurut Alen, setiap nasib buruk yang menimpa hidup manusia adalah fakta dan kenyataan, tak ubahnya suatu wujud eksistensialis yang tak ada hubungannya dengan sebab dan akibat. Manusia jahat dan baik sama-sama terjerembab ke dalam siklus lingkaran setan yang membutakan. Tak ada pilihan lain selain umat manusia harus menerima nasibnya untuk mengada, meskipun tanpa pernah meminta untuk mewujud dan mengejawantah di atas permukaan bumi ini. Dengan demikian, tak ada urusannya dengan mensyukuri nikmat hidup ini, untuk apa? Dan kepada siapa kita harus menyampaikan ucapan terima kasih?
Nyaris tak ada penulis kita yang sanggup mengapresiasi karya Alen sebagai kepanjangan tangan dari garis eksistensialisme Barat yang meniscayakan absurditas sebagai ending ceritanya. Tak ada urusan bagi penulis sekelas Alen, dampak apa yang kelak ditimbulkan dari goresan penanya. Tak ada nilai syiar maupun dakwah bahwa segala perbuatan baik akan berbuah kebaikan, dan segala keburukan itu akibat ulah perbuatan tangan-tangan manusia sendiri.
Baginya, baik maupun buruk hanyalah nasib yang menimpa siapa saja tanpa pandang bulu, bagaikan benang-benang kusut yang tak perlu lagi dibentangkan maupun diurai menjadi kain-kain tenun yang indah seperti dalam novel Pikiran Orang Indonesia. Karena itu, biar sajalah yang kusut tetap menjadi kusut. Tak ada yang perlu bertanggungjawab atas segala nasib yang menimpa siapapun. Termasuk nasib buruk yang sedang menimpa diri Anda sendiri.
***
Hanya beberapa minggu setelah cerpen Jambu Air ditayangkan The New York Times, persisnya pada tanggal 16 Mei 2021, terjadi lagi insiden berdarah di perbatasan Jalur Gaza. Kali ini korbannya adalah anak-anak Palestina yang mati tertembak oleh tentara-tentara Israel.
Tak ada penulis Indonesia yang mengapresiasi bahwa kematian tujuh anak-anak Palestina itu adalah efek dari munculnya sebuah karya sastra berjudul “Jambu Air” di majalah The New York Times itu. Juga tak ada penulis kita yang meneliti, apakah mungkin pohon-pohon jambu air bisa tumbuh subur di sekitar Jalur Gaza dan Israel?
BACA JUGA: 2020 Jadi Tahun Tersulit bagi Gaza
Lalu, apakah benar ada seorang penulis sastra berkebangsaan Israel yang bernama “Alen Keret” yang sebenarnya dialah yang paling bertanggungjawab atas insiden berdarah yang mengorbankan tujuh anak-anak warga Palestina itu?
Rupanya tidak ada pemikir dan intelektual Indonesia yang sanggup berpikir sedalam itu. Juga tidak ada penulis kita yang sanggup menulis persoalan yang amat krusial ini. Sementara, korban-korban terus berjatuhan dari waktu ke waktu, dan para penulis sastra terus saja membangun imajinasi publik, mengejar kepopuleran, tanpa peduli pada dampak yang ditimbulkan atas karya-karya mereka…. []