MENURUT KBBI, arisan adalah kegiatan mengumpulkan uang atau barang yang bernilai sama oleh beberapa orang, kemudian diundi diantara mereka untuk menentukan siapa yang memperolehnya. Undian dilaksanakan di sebuah pertemuan secara berkala, sampai semua anggota memperolehnya.
Arisan, pada hakikatnya merupakan akad hutang-piutang. Dimana orang yang keluar namanya dalam undian, sebagai seorang debitur (peminjam), sedangkan anggota sisanya sebagai kreditur (yang meminjami). Pada prinsipnya, arisan dengan seluruh jenisnya hukumnya boleh, selama obyek yang dijadikan arisan merupakan sesuatu yang halal, serta tidak ada bentuk riba di dalamnya.
BACA JUGA: Ikut Arisan, Bolehkah?
Dalam acara arisan, berlaku sebuah kebiasaan, bahwa orang yang memperoleh atau keluar namanya, akan menjadi tuan rumah dilaksanakannya arisan yang secara otomatis akan memberi jamuan makanan kepada para peserta yang hadir. Hal ini merupakan sebuah ‘urf (kebiasaan yang sudah berjalan) di masyarakat sebagai sebuah cara untuk memuliakan tamu. Jika jamuan makanan ini bukan merupakan perkara yang disyaratkan di dalam akad arisan, akan tetapi semata kemurahan hati dari tuan rumah, maka tambahan manfaat berupa makanan dalam hal ini boleh (bukan termasuk riba), bahkan dianjurkan karena termasuk dari keumuman dalil yang memerintahkan untuk memuliakan tamu.
Dan inilah yang kami tangkap/kami pahami dari apa yang telah berlangsung di masyarakat kita. karena sangat tidak etis, jika seorang kedatangan tamu sepuluh orang –misalnya-, lalu mereka tidak diberi jamuan sama sekali. kebiasaan menjamu tamu ini, sudah berlangsung lama di masyarakat kita, baik dalam rangka arisan atau untuk keperluan atau pertemuan lain.
Telah diriwayatkan dalam sebuah hadis, bahwa Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- berhutang seekor onta kepada seorang laki-laki. Waktu itu laki-laki tersebut memintah kepada nabi untuk mengembalikan ontanya, akan tetapi nabi tidak mendapatkan onta yang sama umurnya dengan onta yang beliau pinjam. Akhirnya nabi memerintahkan untuk memberikan onta yang umurnya lebih tua (secara otomatis lebih besar) dari onta yang beliau pinjam. Setelah itu nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda :
خَيْرُكُمْ أَحْسَنُكُمْ قَضَاءً
“Sebaik-baik kalian adalah seorang yang paling bagus di dalam membayar hutang”. [HR. Al-Bukhari :2390 dan Muslim : 120 dari Abu Hurairah –radhiallahu ‘anhu-].
BACA JUGA: Ini Hikmah Pembagian Warisan dalam Islam
Imam An-Nawawi –rahimahullah- (wafat : 676 H) berkata :
وَفِيهَا أَنَّهُ يُسْتَحَبُّ لِمَنْ عَلَيْهِ دَيْنٌ مِنْ قَرْضٍ وَغَيْرِهِ أَنْ يَرُدَّ أَجْوَدَ مِنَ الَّذِي عَلَيْهِ وَهَذَا مِنَ السُّنَّةِ وَمَكَارِمِ الْأَخْلَاقِ وَلَيْسَ هُوَ مِنْ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَإِنَّهُ مَنْهِيٌّ عَنْهُ لِأَنَّ الْمَنْهِيَّ عَنْهُ مَا كَانَ مَشْرُوطًا فِي عَقْدِ الْقَرْضِ
“Di dalam hadits ini terdapat faidah, sesungguhnya dianjurkan bagi orang yang memiliki hutang berupa pinjaman atau selainnya, hendaknya dia mengembalikannya dengan yang lebih baik dari apa yang dia pinjam sebelumnya. Ini merupakan sunnah dan kemulian akhlak, bukan termasuk dari hutang-piutang yang menyeret manfaat yang telah dilarang. Karena yang dilarang, adalah jika dipersyaratkan dalam akad hutang-piutang.”[Syarh Shahih Muslim : 11/37]
Adapun kaidah yang berbunyi : “Hutang-piutang yang menyeret adanya tambahan manfaat, maka itu termasuk riba”, ini hanya berlaku jika tambahan tersebut dipersyaratkan dalam akad. Jika tidak, maka tidak termasuk riba. Semisal anda pergi ke rumah seseorang untuk menagih hutang, lalu anda disuguhi kopi, maka kopi tersebut halal dan boleh anda minum, karena diberikan kepada anda sebagai bentuk pemulian kepada tamu dan merupakan kebiasaan yang sudah berlangsung sebelumnya. []
Facebook: Abdullah Al Jirani