“SAKIIITÂ …. Mama Luthfi! Sakiiiit … sekali!”
Mata wanita itu berkaca-kaca, sembari menggenggam tangannya di dada, lalu membuang pandangan ke arah lain dengan tatap nanar.
***
Malam itu.
Entah mengapa, aku begitu ingin tahu kisah rumah tangga wanita yang sering kupanggil Bu Ratih. Beliau salah satu anggota pengajian di komplek tempat kami tinggal.
Saat menyambangi Bu Ratih untuk pergi bersama ke hajatan yang diselenggarakan salah satu tetangga. Aku melihat, anak sulung beliau yang sudah ABG melongok dari balik pintu.
Seketika itu juga, pikiranku melayang, wanita ini pasti sudah belasan tahun berumah tangga. Benakku.
Tiba di tempat hajatan.
Kudekati beliau, sengaja duduk berdampingan, agar aku bisa menguak misteri yang mengganggu pikiran.
Aku berniat, ingin menulis kisah hidup wanita ini walaupun tak banyak.
Perlahan aku berbisik,
“Bu Ratih, anaknya umur berapa?”
“Yang mana?”
“Tadi … yang sulung.”
“Oh, tujuh belas tahun, ngape emang?”
“Hmm … enggak, mau tahu aja, mau ngitung … sudah berapa tahun Bu Ratih menikah.”
“Ah, sudah lama. Ya…, seumuran yang sulung. Emang buat apa ngitung tahun pernikahanku segala. Hahaha!”
Bu Ratih tertawa, tampak gigi beliau yang putih rapi. Rona merah di wajahnya yang entah karena tersipu, atau merona karena cream wajah yang banyak dipakai oleh ibu-ibu masa kini. Entahlah, yang jelas aku melihat gambaran bahagia di wajah itu.
“Nggak papa. Mau tahu aja.”
“Iya, sudah belasan tahun, Mama Luthfi.”
“Mashaallah! Hebat ya Bu Ratih.”
“Hebat apanya?”
“Ya hebat aja. Saya yang baru lima tahun menikah, sudah banyak banget cobaannya. Apalagi Bu Ratih yang sudah belasan tahun.”
Sengaja kupancing beliau dengan sedikit pujian, agar wanita bertubuh gemuk itu tak merasa risih dan canggung.
“Ah, kalo itu sih jangan ditanya!”
Tiba-tiba wajah yang tadinya merona berubah sendu. Dan wanita yang sering kugoda ini pun memulai kisah hidup dan liku perjalanan rumah tangganya tanpa harus kuminta dua kali.
“Aku nikah muda, Mama Luthfi. Sekarang umurku sudah tiga puluh dua tahun. Banyak sekali masalah rumah tangga yang kualami, dan menyakiti perasaan. Salah satunya orang ketiga.”
“Orang ketiga? Maksud Bu Ratih, bapak…,”
Tak kulanjutkan kalimat, menghargai perasaan wanita yang kian redup rona wajahnya setelah kusentil sedikit masalah yang ia sebut-sebut sebagai orang ketiga.
“Iya. Bapak selingkuh.”
“Bu Ratih tahu darimana?”
“Aku merasa. Aku merasa! Mama Luthfi! Aku ini istrinya! Mustahil aku tidak tahu apa yang suamiku lakukan. Walaupun dia tidak memberitahuku, aku merasa seperti ada yang ganjil dengannya!”
Aku diam. Membiarkan ibu beranak dua itu larut dalam kisahnya.
Geram. Itulah satu kata yang bisa kutafsirkan dari wajah wanita bermata sipit ini. Terlihat dari cara bicara yang menggebu-gebu seraya menepuk-nepuk dadanya.
“Awalnya aku sering melihat bapak senyum-senyum kalau baca SMS. Trus pas tengah hari, kami sedang tidur siang, bapak dapat SMS, tiba-tiba keluar, mau beli pulsa. Khan aneh, lagi tidur, panas terik, mau beli pulsa.”
“Loh, emang kenapa, Bu? Beli pulsa khan, biasa?” sahutku memastikan.
“Bukan begitu Mama Luthfi…. Beli pulsa kadang siang kadang malam. Setiap hari beli pulsa. Janggal. Lama-lama aku curiga, kubuka handphone-nya pas dia mandi. Aku baca, SMS dari perempuan, minta kirimin pulsa. Mantan pacarnya waktu sekolah dulu. Habis itu aku diam. Pura-pura nggak tahu apa-apa. Padahal hatiku tidak karuan. ‘Awassss kamu yaaaaa!’, dalam hatiku. Nomor HP wanita itu kucatat di kertas. Ku telpon, kumarahin!”
Bu Ratih bicara sambil menggeretakkan gigi serinya. Menahan amarah.
“Bapak tahu kalau Bu Ratih menelpon wanita itu?”
“Bapak belum tahu awalnya.”
“Trus, Bu Ratih ngomong apalagi sama wanita itu?”
“Kumaki-maki dia, aku bilang, ‘kamu kalau mau sama laki orang mikir! Laki kamu mana? Kenapa ganggu laki orang?’, eh… dia marah Mama Luthfi sama aku. Dikata-katainya aku wanita tidak berpendidikan. Aku jawab aja, ‘iya, nggak papa aku tidak berpendidikan, tapi coba kamu bandingkan, berpendidikan mana aku sama kamu? Biarpun aku tak berpendidikan, aku tidak mengganggu rumah tangga orang’, diam dia Mama Luthfi habis kugituin.”
“Memang dia sarjana, Bu?”
“Enggak, sama kayak aku, lulus SMA juga. Dia bilang aku yang nggak bisa jaga suami. Aneh, kenapa dia yang marah, harusnya khan aku yang marah, ya?
Sudah tahu begitu, aku semprot langsung suamiku.
“Pak, kenapa Bapak bohong? Selama ini bapak bilang ngisi pulsa teman, padahal bapak ngisi pulsa wanita itu! Iya, khan?!”
Suamiku nggak mau mengaku, Mama Luthfi. Katanya, cuma teman biasa. Teman biasa apanya, mereka sering telpon-telponan tengah malam. Aku tahu, tapi kutahan. Diam dulu. Dan wanita itu sudah bersuami, Mama Luthfi. Anaknya satu. Dia ketemu suamiku pas reuni sekolah ceritanya.”
“Ooh, jadi berawal dari reunian?”
“Iya!”
“Kejadian itu tahun kapan, Bu Ratih?”
“Tahun 2013.”
“Pas rumah tangga Bu Ratih umur tiga belas tahun berarti, ya?”
“Sekarang 2016, ya? Iya, benar. Pas usia pernikahan kami yang ke tiga belas.”
“Apa yang Bu Ratih rasakan saat itu?”
Kuusap-usap bahu beliau dengan tatap penuh iba kulihat jari lentik itu mengusap pelan ujung kelopak matanya.
“Sakiiiit…. Mama Luthfi! Sakiiiit… sekali!”
Mata wanita itu berkaca-kaca, sembari menggenggam tangannya di dada, lalu membuang pandangan ke arah lain dengan tatap nanar.
Beberapa menit kemudian Bu Ratih tersenyum. Senyum terpaksa, sangat tampak ada luka yang menyelimuti.
Getir hati Bu Ratih dapat kurasakan. Karena aku juga seorang istri. Meskipun, aku tidak pernah mengalami hal serupa. Tapi, istri mana yang bisa menerima saat tahu suaminya berkhianat?
“Pulangkan aku ke abangku sekarang juga!” Bu Ratih melanjutkan kisahnya. ” Tapi dia tidak mau Mama Luthfi, sampai akhirnya, aku mengancam, kalau mereka masih berhubungan, aku minta cerai. Alhamdulillah, sampai saat ini bapak berhenti menghubungi wanita itu. Setelah kusuruh ganti nomor HP.”
Ibu berhijab warna hitam itu membuang kembali padangannya. “Itu adalah kisah paling pahit dalam rumah tanggaku, Mama Luthfi. Sejak saat itu, aku tidak percaya lagi pada suamiku. Tidak percaya sedikit pun.”
“Mashaallah…. Bu Ratih hebat ya. Sabar sekali. Benar-benar tangguh,” ucapku lirih, agar tak terdengar oleh ibu-ibu yang lain.
“Wanita itu tidak tahu bagaimana rasanya merintis usaha dan rumah tangga dari nol. Setelah kami enak begini, dia datang mau merusak rumah tangga orang. Katanya mau cerai sama suaminya. Ya, itu urusannya, kenapa mau merusak rumah tangga kami? Aku susah senang dari bapak belum jadi apa-apa sampai seperti ini, masa setelah enak, dia datang. Kenapa dulu pas masih susah nggak datang? Mau enaknya aja. Itu yang membuatku nyesek, Mama Luthfi. Kenapa bapak tega. Apa bapak lupa, bagaimana dulu kami susah bersama?”
Speechless. Aku tak mampu berkata apa-apa lagi. Suara pemimpin pengajian di hajatan yang kami kunjungi terdengar jelas, pertanda pengajian akan segera dimulai.
Sebelum menutup perbincangan singkat malam itu, aku berbisik pelan di telinga Bu Ratih,
“Bu, boleh tidak saya menulis kisah rumah tangga Bu Ratih? Saya tertarik. Saya salut. Bu Ratih hebat. Nanti kita lanjutkan ya, Bu. Kapan-kapan saya main ke rumah Ibu kalau ada waktu. Sepertinya, saya harus belajar banyak juga nih dari Bu Ratih,” selorohku.
Wanita berwajah bulat dan imut itu pun hanya membalas dengan senyum. Apakah senyum kemenangan atas kekuatannya dalam mengarungi bahtera rumah tangga. Atau sebuah senyum perwakilan dari getir hati yang pernah terluka akibat dusta?
Entahlah.
Malam itu….
Adalah malam yang gelap ditutupi awan mendung, malam yang tak tampak bintang satu pun. Menjadi malam yang cukup membuatku bertanya;
Mengapa, lelaki mapan yang sudah beristri, selalu menjadi idaman wanita selain istrinya?
Bukankah banyak yang mengatakan; Hanya wanita yang mampu memahami perasaan wanita? []