SEBAGIAN orang menganggap beberapa perkara adalah najis. Padahal hal tersebut bukanlah najis. Contohnya ada di antara orang-orang awam yang menyangka kalau mani atau muntah itu adalah najis. Lebih parah lagi, jika menyangka ludah atau keringat seseorang itu adalah najis.
Perlu diketahui bahwa tidak semua yang kotor pasti najis. Mungkin kita tahu ada sebagian kaum muslimin yang tak mau shalat dengan pakaiannya yang kotor karena lumpur saat sedang di sawah. Ia berdalih bahwa lumpur itu najis. Padahal ternyata bukan najis.
BACA JUGA: Najiskah Air Minum Bekas Kucing?
Berikut ini perkara-perkara yang dianggap najis oleh kebanyakan orang yang ternyata bukan najis:
1 Khamr atau minuman keras
Khomer alias minuman keras, walaupun haram diminum, dan digunakan berobat, maka dzatnya tidaklah najis menurut pendapat yang terkuat di kalangan ulama’, karena tak ada dalil yang menyatakan najisnya secara jelas.
Sebagian ulama’ yang berpendapat najisnya berdalil dengan ayat ini:
“Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya khamr, berjudi, berhala, (mengundi nasib dengan) panah, adalah termasuk najis dari perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan”. (QS.Al-Maa’idah :90)
Kata Ar-Rijsu (najis) disini bukanlah najis hissiyyah (pada dzatnya), tapi itu adalah najis hukmiyyah (maknawi). Jika khamr dianggap najis, maka judi, berhala, anak panah pun harus dianggap najis. Padahal tidaklah demikian tentunya.
Syaikh Husain bin ‘Audah Al-’Awayisyah berkata, “Demikian pula pengharaman tidaklah mengharuskan najisnya (sesuatu yang haram itu). Jika tidak, maka kita harus pula menyatakan najisnya ibu, putri, saudari, dan bibi, dan lainnya. Karena, Allah -Ta’ala- berfirman,
“Diharamkan atas kamu ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, Saudara-saudara bapakmu yang perempuan; Saudara-saudara ibumu yang perempuan…” (QS. An-Nisaa’: 23).
Makanan yang dicuri, haram dimakan, tapi tidak dikatakan bahwa ia najis”. [Lihat Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah (1/48)]
Al-Imam Asy-Syaukaniy-rahimahullah- berkata, “Tak ada dalil yang cocok dipegangi tentang najisnya minuman keras (khomer)”.[Lihat As-Sail Al-Jarror (1/137), cet. Dar Ibni Katsir]
Jadi, sekalipun khamr haram ditenggak dan diminum, namun tak ada dalil yang menjelaskan bahwa ia adalah barang-barang najis . Sedang mengeluarkan sesuatu dari kesucian harus menggunakan dalil yang jelas.
2 Bangkai Hewan yang tak memiliki darah
Para ulama telah menggolongkan hewan menjadi dua macam. Pertama, hewan yang memiliki darah yang mengalir, seperti sapi, kambing, kucing, rusa, anjing, dan lainnya. Kedua, hewan yang tak memiliki darah yang mengalir, seperti nyamuk, kalajengking, laba-laba, semut, lalat, serangga-serangga kecil, dan lainnya.
Nabi SAW bersabda,
إِذَا وَقَعَ الذُّبَابُ فِيْ شَرَابِ أَحَدِكُمْ فَلْيَغْمِسْهُ ثُمَّ لْيَنْزِعْهُ فَإِنَّ فِيْ إِحْدَى جَنَاحَيْهِ دَاءً وَاْلأُخْرَى شِفَاءً
“Jika lalat jatuh pada minuman seorang di antara kalian, maka hendaknya ia menenggelamkannya, kemudian ia mencabutnya (membuangnya), karena pada salah satu diantara dua sayapnya terdapat penyakit, dan pada sayapnya yang lain terdapat obatnya”. [HR. Al-Bukhoriy dalam Shohih-nya (3320 & 5782), Abu Dawud dalam Sunan-nya (3844), An-Nasa’iy dalam Sunan-nya (4262), dan Ibnu Majah (3505)]
Abul Fadhl Ibnu Hajar Al-Asqolaniy rah berkata, “Hadits ini dijadikan dalil bahwa air yang sedikit tidak najis karena jatuhnya hewan yang tak memiliki darah yang mengalir dalam air.”
Al-Imam Ibnu Qudamah Al-Maqdisiy rah berkata, “Segala sesuatu yang tak memiliki darah yang mengalir, seperti yang disebutkan oleh Al-Khiroqiy berupa hewan darat atau hewan laut, diantaranya: lintah, ulat, kepiting, dan sejenisnya. Semua ini tidaklah najis karena mati, dan tidak menajisi air, jika ia mati di dalamnya menurut pendapat mayoritas ulama’”. [Lihat Al-Mughniy (1/68)]
Semakna dengan ini, ucapan Ibnu Dhuwayyan dalam Manar As-Sabil (1/40), “Ini umum pada semua (air) yang panas, dan dingin, serta minyak di antara cairan yang lalat akan mati jika dicelupkan ke dalamnya. Andai lalat itu menajisi air, maka itu (yakni perintah menenggelamkannya) adalah perintah untuk merusak air. Jadi, lalat tidaklah najis karena mati, dan tidak menajisi air, jika ia mati di dalamnya.”
3 Kotoran hewan yang bisa dimakan
Banyak di sekitar kita hewan yang berseliweran, sebangsa ayam, itik, kambing, sapi, kerbau, dan lainnya di antara hewan-hewan yang halal dimakan. Hewan-hewan ini jika mengeluarkan tahi dan kencing, maka tahi dan kencingnya tidaklah najis.
Anas bin Malik ra berkata, ” Ada beberapa orang dari Uroinah datang kepada Rasulullah SAW. Tapi mereka tidak cocok dengan (cuaca) kota Madinah. Rasulullah SAW bersabda kepada mereka,
إِنْ شِئْتُمْ أَنْ تَخْرُجُوْا إِلَى إِبِلِ الصَّدَقَةِ فَتَشْرَبُوْا مِنْ أَلْبَانِهَا وَأَبْوَالِهَا
“Jika kalian mau (pergi), maka keluarlah menuju onta shodaqoh (hasil zakat). Kemudian kalian minum susu, dan kencingnya”.
Mereka pun melakukannya, lalu mereka semua jadi sehat”. [HR. Al-Bukhoriy dalam Shohih-nya (233), dan Muslim dalam Shohih-nya (1671)]
BACA JUGA: Inilah Tingkatan Najis yang Perlu Kamu Ketahui
Muhaddits Negeri Yaman, Al-Imam Asy-Syaukaniy rah berkata, “Maka penghalalan untuk berobat dengannya (air kencing onta, dan lainnya) merupakan dalil tentang kesuciannya. Jadi, kencing onta, dan sebangsanya adalah suci”. [Lihat Nailul Author (1/99)]
Andaikan kencing onta atau hewan yang halal dimakan adalah najis, maka Nabi SAW tak akan memerintahkan orang-orang Uroinah meminum kencingnya, karena tak mungkin beliau akan memerintahkan mereka berobat dengan sesuatu yang najis. Karenanya, Abdullah bin Mas’ud ra berkata tentang khamr,
إِنَّ اللهَ لَمْ يَجْعَلْ شِفَاءَكُمْ فِيْمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ
“Allah tidaklah menjadikan kesembuhan kalian dalam sesuatu yang Allah haramkan atas kalian”. [HR. Al-Bukhoriy dalam Kitab Al-Asyribah (10/98)-Fathul Bari]
4 Air mani
Mani adalah asal penciptaan bani Adam yang suci. Karenanya seorang yang mengalami mimpi basah, maka ia tak wajib mencuci bajunya, karena mani itu bukan najis. Cukup baginya untuk mencuci bagian yang terkena mani saat maninya basah. Tapi tidak wajib mencucinya. Boleh ia membiarkannya kering. Jika mani kering, maka seorang mengoreknya dengan kuku, atau kayu, dan lainnya yang bisa menghilangkan bekasnya.
‘Alqomah dan Al-Aswad berkata, ” Ada seorang (yaitu, Hammam bin Al-Harits, -pent.) pernah singgah pada Aisyah. Di pagi hari, ia mencuci pakaiannya. Maka Aisyah pun berkata,
إِنَّمَاكَانَ يُجْزِئُكَ إِنْ رَأَيْتَهُ أَنْ تَغْسِلَ مَكَانَهُ فَإِنْ لَمْ تَرَ نَضَحْتَ حَوْلَهُ، وَلَقَدْ رَأَيْتُنِيْ أَفْرُكُهُ مِنْ ثَوْبِ رَسُوْلِ اللهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرْكًا فَيُصَلِّيْ فِيْهِ
“Sesungguhnya cukup bagimu untuk mencuci tempatnya (yang terkena mani). Jika kamu tak melihat mani, maka perciki sekitarnya. Sungguh aku menyaksikan diriku telah mengorek-ngorek mani (dengan kuku, dan lainnya) dari pakaian Rasulullah SAW, lalu beliau shalat dengan pakaian itu”. (HR. Muslim no 288)
Abdullah Ibnu Abbas ra pernah ditanya tentang mani yang mengenai pakaian, kemudian beliau menjawab,
إِنَّمَا هُوَ بِمَنْزِلَةِ الْبُصَاقِ أَوِ الْمُخَاطِ إِنَّمَا كَانَ يَكْفِيْكَ أَنْ تَمْسَحَهُ بِخِرْقَةٍ أَوْ إِذْخِرٍ
“Mani itu sama kedudukannya dengan ludah atau dahak. Cukup bagimu untuk mengusapnya dengan secarik kain atau idzkhir (sejenis rumput yang harum)”. (HR. Asy-Syafi’iy dalam Musnad-nya [1593], dan Al-Baihaqiy dalam As-Sunan Al-Kubro [2977&2978]. Syaikh Al-Albaniy berkata tentang hadits ini secara mauquf dalam Silsilah Al-Ahadits Adh-Dho’ifah [2/361], “Ini adalah sanad yang shohih sesuai ketentuan dua Syaikh [Al-Bukhoriy & Muslim]”)
Al-Imam Muhammad bin Isma’il Ash-Shon’aniy rah berkata dalam Subul As-Salam (1/55), “Para ulama’ Syafi’iyyah berkata, “Mani adalah suci”. Mereka berdalil dengan hadits-hadits ini. Mereka berkata, “Hadits-hadits mencuci mani dipahami dengan makna mandub (sunnah). Mencuci mani bukan dalil tentang najisnya mani, karena terkadang (seseorang mencuci mani, -pent.) untuk membersihkan, dan menghilangkan nodanya, dan sejenisnya,” usai ucapannya. []
SUMBER: ALQURAN-SUNNAH