“Silakan belajar madzhab, tapi kalau nanti ada pendapat madzhab yang lemah, jangan ikuti. Tinggalkan pendapat madzhab tersebut dan ikuti dalil.”
Catatan atas komentar di atas:
1. Isi pernyataannya, seandainya tak melihat qarain (faktor-faktor penyerta), tampak tidak ada masalah. Kita memang wajib ikut dalil.
BACA JUGA: Musik Haram? Ini Menurut Imam 4 Madzhab
2. Sayangnya, qarain yang ada, menunjukkan ucapan itu diarahkan ke arah tertentu. Ini bukan sangka buruk, karena sangka buruk itu mencoba menyelisik isi hati, sedangkan qarain itu melihat hal-hal zhahir (tampak) yang menyertai ucapan tersebut.
3. Bagi yang benar-benar memahami madzhab, apalagi madzhab Syafi’i, tentu akan memahami bahwa ulama-ulama pengikut pendapat madzhab tersebut setia pada dalil dan kebenaran. Dan itu bisa dilihat dari setiap dalil yang digunakan oleh mereka yang tampak kuat.
Juga bisa dilihat dari ikhtiyarat sebagian ulama pengikut madzhab yang menunjukkan mereka tidak segan meninggalkan pendapat resmi madzhabnya saat melihat ada kebenaran di tempat lain.
Demikian juga, para ulama kontemporer yang benar-benar mengikuti satu madzhab tertentu, kadang dalam fatwa mereka, mengambil pendapat yang tidak mu’tamad dalam madzhab, bahkan mengambil pendapat dari madzhab lain.
4. Ringkasnya, tak perlu sok mengajari pembelajar madzhab untuk ikut dalil dan kebenaran.
BACA JUGA: Wajibkah Bermadzhab?
5. Tampak dari qarain yang ada, maksud ucapan di atas adalah, “Jika pendapat madzhab tersebut menyelisihi pendapat ustadz panutan kami, atau pendapat mayoritas di komunitas kami, maka tinggalkan pendapat madzhab tersebut, dan kembalilah pada pendapat kami.”
6. Ikut dalil itu meniscayakan untuk belajar secara bertahap, baik furu’ fiqih, ushul fiqih, qawa’id fiqhiyyah, dan berbagai ilmu lainnya. Bukan malah diberi jargon kosong. Orang awam tidak mampu ikut dalil secara langsung, karena mereka tak memiliki alatnya sama sekali.
Bagaimana mau ikut dalil, disuruh belajar ushul fiqih malah mau muntah.
Wallahu a’lam. []
Facebook: Muhammad Abduh Negara