PERNAHKAH kita mendengar ungkapan seperti ini: “Aku sudah lama sabar sama kamu, tapi karena aku sabar selama ini, kamu menginjak-injak kepalaku, aku tidak bisa sabar lagi, sabarku juga punya batas.”
Pernahkah ada perasaan dan kata-kata seumpama itu di hati kita? Atau di fikiran kita? Atau mungkin membaca atau mendengarnya di sekitar kita?
Lalu, saya ingin tanyakan, benarkah pengertian sabar seperti itu?
kita diinjak-injak oleh orang lain, atau kita dicemooh dan dihina oleh orang lain, itu bukan karna kita sabar, tapi karna Allah ingin menguji kita.
Apakah kita benar-benar sabar dan ikhlas atas kesabaran kita? Atau kita sebenarnya hanya memendamnya?
Inilah yang harus kita perhatikan. Banyak orang mengklaim, kalau dia selama ini sudah begitu sabar dengan diam, tak membalas, tidak memberi reaksi atau respon atas kejahatan atau keburukan yang dilakukan orang ke atasnya, namun benarkah dia sabar?
Bila selama ini kita merasa sabar namun akhirnya suatu waktu kita meledak, kita sebenarnya belum sabar, tapi kita selama ini hanya memendam.
Kenapa? Banyak alasannya.
Sabar tidak akan bisa meledak, karna ia tidak pernah menyimpan atau memendam apa-apa dalam hati dan fikirannya. Ia maafkan dan lupakan, atau ia abaikan bila ia terkait sesuatu yang rasanya tak terlalu penting untuk ia respons. Jadi, tak ada bara dalam dirinya apalagi bom yang bisa membuat kapan-kapan ia meledak.
Bukanlah berarti orang yang sabar itu, dia tidak sensitif sama sekali, tidak peduli, atau tidak responsif. Dia bisa saja merasa tersinggung atau marah misalnya, tapi lihat bagaimana seseorang yang sabar mengendalikan hati dan fikirannya dalam menghadapi situasi dan keadaan-keadaan yang tidak menyenangkan itu.
Ketika seseorang sudah membiasakan diri untuk sabar, lama-kelamaan dia otomatis bisa tenang dan tidak ambil pusing lagi tentang hal-hal tersebut. Bahkan, lebih mulianya lagi dia dengan spontan bisa mendoakan kebaikan pada orang yang berbuat kejahatan terhadapnya.
Sabar bukan bererti diam. Namun, diam adalah salah satu cara dan jalan untuk sabar sesuai keadaan yang memerlukan kita diam.
Orang sabar tidak pasif, tapi aktif. Sekalipun dia diam misalnya, di sisi lain dia bertindak. Misalnya ia berusaha memaafkan, berusaha mendoakan, berusaha mencari jalan keluar dan penyelesaian, dan seumpamanya. Sedang orang yang memendam lebih bersifat pasif. Menyimpan semuanya dalam hati, dan menutupnya rapat-rapat sampai suatu saat akhirnya ia meledak.
Sabar tidak ada limit atau had. Tapi pendam ada had. Ketika tubuhnya terlalu panas, jiwa dan hatinya terbakar, fikirannya jadi kacau dan keliru, akhirnya ia akan meledak.
Jadi, bagaimana? Apakah sabar kita adalah sabar yang sungguhan? Atau masuk kedalam kategori memendam perasaan?
Memang, tidak mudah, yang penting kita punya niat serta berusaha untuk menjadi orang yang sabar agar Allah selalu menguatkan kita. []
Sumber: Ummi