Oleh: Mawar Dani, mawarmaisa@gmail.com
SAAT kalian membaca kisah ini, saat itu pula aku telah menjadi seorang kakak yang gagal terhadap adiknya. Kenapa? Aku merasa bersalah atas hancurnya kehidupan adikku. Sekalipun dia tak pernah mengatakan itu.
Aku memiliki adik perempuan berusia 27 tahun. Sudah tamat kuliah dan telah memiliki pekerjaan. Sejauh ini semuanya baik-baik saja. Aku merasa tak ada yang kurang. Hingga suatu waktu, ibu kami mendesak agar Marwah –nama adikku– segera menikah. Kupikir, zaman sekarang tak masalah umur segitu masih single, toh adikku punya kegiatan positif.
Sekali dua kali keinginan itu disampaikan ibu kepadanya. Tak jarang alasan mengatasnamakan diriku dia sampaikan. Tak ingin melangkahi kakak menikah. Selalu itu yang Marwah jadikan alasan.
Hingga titik lelah itu tiba. Aku yang tak kunjung menikah lalu desakan seperti jadwal minum pil yang rutin diajukan, menghadirkan kekalahan di hatinya. Marwah menyerahkan sepenuhnya soal keinginan ibu kepadaku. Dengan kata lain, dia bersedia aku carikan jodoh. Aku mengenal betul jiwa Marwah, sejak kecil tak pernah melawan apalagi membantah.
Ibu senang atas keputusan yang diserahkan Marwah. Ibu meminta agar aku melihat-lihat dulu calon lelaki itu dari kalangan terdekat seperti teman sesama dosen. Tak butuh waktu lama mencari pasangan yang tepat untuk Marwah. Adikku yang cantik juga cerdas mampu memikat beberapa kandidat yang telah aku unjuk. Mereka kagum atas fisik dan segala info yang tertera dalam proposal nikah.
Aku menjatuhkan pilihan pada Tian. Lelaki yang berprofesi sama denganku juga telah menjadi sahabatku beberapa tahun belakangan. Kami sering bertemu dalam urusan pekerjaan dan aku melihat dia lelaki yang baik.
Pernikahan berlangsung sederhana. Semua atas kesepakatan kedua belah pihak. Kami lega, akhirnya adikku telah disunting lelaki yang tepat. Setidaknya itu menurut kacamata manusia.
Semenjak menikah, Marwah diboyong sang suami ke rumah miliknya. Meski masih dalam satu kota, kami tetap jarang bertemu karena kesibukan. Hanya ibu yang paling sering datang mengunjungi.
Lima bulan berlalu pasca pernikahan. Kupikir semua baik-baik saja. Aku bisa melihat rona wajah Tian yang sumringah pada kesempatan kami tanpa sengaja bertemu. Dan adikku tak pernah sekalipun berkabar yang buruk tentang keluarga kecilnya.
Penyesalan memang selalu hadir di belakang. Suatu waktu ibu menemuiku di ruangan kerja. Matanya sembab karena sebuah kesedihan. Kabar yang kudengar jika ternyata adikku tak bahagia atas pernikahan itu. Hidup yang dijalaninya hanya sandiwara. Tian memang tak menyakiti fisik adikku, tapi dia menghancurkan jiwa Marwah.
Sebelumnya, aku tak ingin langsung percaya atas pengaduan ibu. Aku sempat mengabaikan hal tersebut beberapa waktu. Hingga Allah mengatur segalanya. Marwah tanpa sengaja salah berkirim pesan kepadaku, isinya meminta secara bijak jika tak lagi nyaman hidup bersama lebih baik berpisah.
Aku terkejut. Ternyata apa yang ibu sampaikan selama ini bukan kebohongan. Saat itu juga aku meminta Marwah menceritakan segalanya. Dari jauh suara saudara kesayangku itu terisak. Meminta maaf karena telah gagal menjadi istri yang baik.
Sejak bulan pertama pernikahan mereka ternyata adikku tak mendapatkan haknya sebagai istri. Nafkah yang seharusnya menjadi hak telah diabaikan. Adikku memenuhi segala kebutuhan rumah tangga, parahnya beberapa keperluan Tian pun dia terkadang yang harus menanggung. Setiap kali ada keributan, adikku selalu dipojokkan dengan umpatan gadis yang tak laku, itu sebabnya urusan jodoh saja masih dicarikan orang lain.
Adikku bukan wanita yang tak laku. Aku yang mengenalnya sangat menjaga diri dan menurut pada orangtua. Bahkan untuk urusan perasaan saja dia rela mengikuti pilihan orangtua. Aku tertampar atas kesedihan adikku. Aku orang yang paling merasa bersalah. Jika saja aku menolak mencarikan jodoh untuknya. Atau jika saja aku lebih pintar memilih lelaki yang tepat untuk mendampinginya.
Pernikahan itu memang tak layak untuk dipertahankan. Meski kami tahu perceraian itu sesuatu yang dibenci Allah. Jalan itu harus ditempuh demi kebaikan hidup di masa depan.
Ikatan itu dimulai dengan cara yang baik dan kami berharap perpisahan pun dilalui dengan sikap yang baik. Mereka pisah secara hukum agama maupun negara.
Adikku kembali menjalani hidupnya dalam kesendirian. Aku tahu dia tidak berbahagia meskipun segudang aktivitas mengisi waktunya. Aku kehilangan sosok adik yang dahulu ceria.
Senyum dan tawanya adalah sesuatu yang langka kutemukan. Jika saja aku bukan lelaki, mungkin jiwaku pun ikut lemah bersama perceraian yang dialaminya.
Andai dan jika tidak salah aku meminta, jangan lakukan kebodohan yang sama pada kerabat kalian. Ikhtiar dalam mencari jodoh itu perlu tapi tak juga harus memburu.
Tak ada yang lebih membahagiakan selain kedamaian itu sendiri. Dan kini aku belum bisa berdamai dengan hidupku karena telah gagal membuat adikku bahagia. Lagi, pahamilah. Menikah bukan soal cepat atau lambat hanya satu kata yakni tepat. []
Asahan, November 2015