ADA yang hampir tak pernah berhenti menyala, di setiap rumah, selama hampir 24 jam. Televisi. Sejak dari pagi hari, hingga Mahgrib, dan larut malam. Ibaratnya, semua anggota keluarga di rumah mempunyai shift tersendiri untuk menonton televisi. Di shubuh dan pagi hari, usai tayangan ceramah lanjut para anak-anak dijamu film-film (kartun). Pilihan banyak sekali, terutama jika hari libur.
Menjelang siang, ada acara-acara renyah namun tak bergizi. Kebanyakan adalah infotainmen silih berganti, dan dengan tokoh utama yang sama di semua saluran. Jika hari ini seorang pesulap yang tak pernah berkata di depan televisi diberitakan kawin lagi, maka semua infotainment meliputnya, dengan narasi yang agak sedikit berbeda, namun semuanya mempunyai cita rasa yang sama.
Siang bada dhuhur, berderet acara makan-makan. Istilah “Mak Nyus”, dan “Lazieesss” terkenal karena acara-acara ini. Secara umum, pada jam makan siang, menonton tayangan seperti ini, tentu membuat perut makin keroncongan, memang.
Sore, kembali infotainment. Maghrib film anak-anak. Setelah Isya, giliran para bapak yang pulang dari tempat kerja. Begitu seterusnya ritme televisi.
Jumlah televisi di seluruh dunia diperkirakan sebanyak 1,5 miliar, dengan jumlah pemirsa yang lebih tinggi lagi. Suka tidak suka, televisi sangat berperan dalam kehidupan manusia. Di Indonesia, Anda boleh miskin, tapi tidak boleh tidak memiliki televisi.
Jumlah waktu yang banyak orang abdikan untuk menonton televisi sangat mengejutkan. Baru-baru ini, suatu penelitian global memperlihatkan bahwa, rata-rata, orang menonton TV lebih dari tiga jam setiap hari. Orang Amerika Utara menonton empat setengah jam setiap hari, sedangkan orang Jepang berada di urutan pertama, yakni lima jam setiap hari. Hampir sama dengan orang Indonesia yang menghabiskan waktu di depan televisi antara 4 sampai 5 jam sehari.
Jumlah itu terus berakumulasi. Jika kita menonton empat jam setiap hari, pada usia 60 tahun kita telah menghabiskan waktu sepuluh tahun di depan layar televisi. Namun, tentu tidak satu pun di antara kita yang mau kata-kata berikut tertulis di batu nisannya, ”Di sini terbaring sahabat kami yang tercinta, yang telah mengabdikan seperenam masa hidupnya untuk menonton televisi.”
Televisi ibarat Dewa Janus dalam mitologi Romawi yang bermuka dua. Di satu sisi televisi menawarkan manfaat dari informasi dan hiburan yang disajikannya. Di sisi lain, televisi banyak menyajikan tayangan kekerasan-yang tidak saja rentan ditiru, tapi juga berpotensi menumpulkan kepekaan pemirsa atas budaya kekerasan yang makin marak. Cobalah lihat, dimana semuanya bermula? Televisi. Jajanan anak-anak, iklan di televisi. Tren dimulai di televisi. Berita di televisi. Semuanya dimulai di sana.
Dan, meskipun televisi menawarkan banyak hal yang patut dilihat, terlalu banyak menontonnya akan mengurangi waktu untuk keluarga, menghalangi kemampuan anak-anak membaca serta prestasi mereka di sekolah, dan menyebabkan kegemukan (obesitas). Apalagi? Silakan urut-urut sendiri.
Televisi memiliki prinsip sekali dinyalakan, maka Anda akan menonton apa saja yang ditayangkannya, satu demi satu, dan Anda baru mematikannya ketika Anda mau tidur. Jadi dalam hal ini, kita sendiri yang harus mengendalikan diri dalam menonton televisi. Sekarang, coba ambilah bolpoin dan catat berapa jam Anda menonton televisi, dan apa yang Anda tonton. Jika Anda tidak doyan menonton televisi, coba lihat mungkin istri atau suami Anda. Anak-anak, atau anggota keluarga lagi.
Ada banyak hal luar biasa yang dilakukan di dunia ini daripada sekadar hanya duduk diam di depan televisi. Menenun, menjahit, bermain, menggambar, main sepak bola, istirahat yang cukup, mendengarkan murotal Al-Qur’an, membuat cerita pendek, menulis artikel, dan sebagainya. Jangan sampai kita mati di depan televisi! []