Oleh: Umi Salamah
Menulis antologi kisah inspiratif yang bersama penulis lain dalam sebuah buku berjudul “True Stories: Hijrah dan Hijab
PERTUMBUHAN media sosial selama dua tahun terakhir menjadi salah satu pusat perhatian dan pengkajian publik. Hal ini sejalan dengan perkembangan teknologi yang juga semakin pesat.
Instagram misalnya, menjadi media sosial dengan pengguna terbanyak berada di Indonesia untuk tingkat Asia-Pasifik (kompas.com).
Semakin ke sini, Instagram bukan hanya sebagai alat untuk sharing foto dan aktifitas pribadi, akan tetapi sudah menjadi sarana mendapatkan informasi tentang apapun.
BACA JUGA: Paus Fransiskus: Media Sosia Ancam Kaum Muda jadi ‘Anti-Sosial’
Mulai dari bisnis, ekonomi, sosial, agama, bahkan di tahun politik 2019, Instagram menjadi tempat pesta demokrasi, atau bahkan bisa menjadi tempat pertarungan ideologi.
Perkembangan media sosial lainnya adalah bisa dilihat dari pengguna Youtube di Indonesia yang sudah mencapai 50 juta pengguna di tahun 2017 dan 2018 (cnnindonesia.com).
Angka ini sangat besar jika dibanding dengan 10 tahun lalu yang hanya mencapai 5 juta pengguna di Indonesia. Hal ini tentu tidak lepas dari teknologi yang semakin berkembang dan memudahkan setiap masyarakat untuk mengaksesnya.
Pada awalnya, Youtube menstimulasi setiap penggunanya untuk mengunggah konten apapun. Agar video yang tersedia di Youtube semakin banyak maka dibuatlah sistem pemberian imbalan pada setiap video yang diunggah ke akun Youtube.
Hal ini membuat masyarakat akan berlomba-lomba untuk membuat konten yang bisa menarik masyarakat untuk menonton. Jika banyak viewer yang men-subscribe akun mereka, maka duit yang diperoleh pun tak sedikit.
Di sisi lain, orang yang pada awalnya senang menonton televisi, kini perlahan mulai beralih ke yang lebih praktis yakni Youtube yang tersedia di android. Televisi tidak portable, sedangkan android bisa dibawa kemana pun.
Alhasil, tidak hanya masyarakat umum, tapi juga stasiun televisi merambah Youtube. Konten-konten Youtube pun semakin bervariasi. Dari konten yang mengangkat isu tentang sosial, politik, agama, tindakan asusila pun tersedia di Youtube.
Media Sosial dan Tantangan Moral
Tak bisa dipungkiri, media sosial adalah wilayah luas tanpa batas. Setiap orang bisa bertindak sebagai jurnalis dan penyedia informasi. Siapa hakim penentu benar dan salahnya? Kembali ke masing-masing individu.
Bahkan kalau di Indonesia misalnya, adanya UU ITE masih terkesan subjektif dalam menindak siapa yang disebut sebagai pelaku kejahatan media. Tentang ujaran kebencian di media sosial, misalnya, masih rancu standardnya, kebencian versi siapa?
Di sinilah letak bahayanya. Mau tidak mau pada kondisi yang seperti ini, konten yang banyak diminatilah yang akan booming, tersebar cepat ke khalayak ramai dan bisa jadi dianggap sebuah kebenaran meski sebenarnya bukan.
Jadi, penentu viral atau tidaknya sebuah konten adalah menarik atau tidaknya di mata netizen (warga internet) yang belum tentu bersandar pada standar benar dan salah. Akhirnya, bisa dikatakan bahwa inovasi dan daya kreatifitas masyarakat di sini akan menjadi penentu siapa yang akan menjadi pemimpin dalam memberikan informasi.
Setiap orang pun akan berlomba-lomba memberikan informasi yang sekiranya bisa dinikmati setiap orang yang mengaksesnya.
Berikutnya, ribuan konten yang terunggah setiap harinya, dengan konten yang berbeda-beda akan mencari segmen pasarnya sendiri-sendiri. Tak bisa dielak bahwa dunia hiburan adalah segmen yang sangat banyak peminatnya.
BACA JUGA: Media Asing Soroti Tidak Adanya Peringatan Dini pada Tsunami Selat Sunda
Di Indonesia misalnya, pada akhir tahun 2018, follower Instagram terbanyak dipegang artis Ayu tingting dengan jumlah 28 juta lebih follower (kaskus.co.id). Diikuti Raffi Ahmad yang juga salah satu aktor papan atas Indonesia. Di peringkat di bawah mereka pun masih ditempati para oleh artis. Follower akun presiden, trainer motivasi atau para da’i saja masih kalah jauh dibandingkan dengan jumlah pengikut akun artis.
Begitu juga dengan Youtube. Jumlah subscriber terbesar masih dipegang oleh Atta Halilintar dengan jumlah subscriber mencapai lebih dari 9 juta (liputan 6.com). Di bawahnya ada Ria Ricis. Penontonnya berjumlah ratusan ribu setiap harinya. Beberapa content creator dengan subscriber terbanyak berikutnya pun masih dari kalangan artis.
Masalahnya adalah konten-konten yang biasa di-share oleh para artis dengan pengikut banyak itu kebanyakan hal-hal yang kurang memberi kontribusi terhadap meningkatnya daya pikir, tingkat pendidikan dan penyelesaian problematika kehidupan masyarakat. Namanya juga dunia hiburan, pastinya yang lebih menonjol adalah hal-hal yang berbau kesenangan duniawi, hura-hura, bahkan tidak sedikit yang jatuhnya pada hedonis.
Di sinilah budaya permisif semakin tumbuh subur karena medianya semakin banyak dan mudah diakses siapa pun. Pergaulan bebas, seks bebas, pamer aurat, dan kehidupan hyper-class bertebaran di sosial media. Ini juga yang menjadikan media sosial dikuasai konten sampah daripada konten yang bermutu dan mendidik.
Padahal, saat ini bangsa kita sedang menghadapi persoalan moral yang sangat akut. Pergaulan bebas yang banyak dipertontonkan di sosial media telah menciptakan ribuan malapetaka di dunia nyata seperti hamil di luar nikah, aborsi, dan kejahatan seksual. Belum lagi masalah lainnya.
Namun, di satu sisi, tidak bisa dipungkiri juga hari ini sudah mulai bermunculan juga elemen masyarakat atau komunitas-komunitas yang mengajak generasi berubah menjadi pribadi yang lebih baik. Istilah “hijrah” pun makin populer yan menandakan pentingnya kita untuk berpindah dari kondisi yang tidak baik menjadi lebih baik dengan Islam.
Kalangan seperti ini pun menggunakan media sosial sebagai wasilah dakwahnya. Maka, media sosial pun juga diwarnai dengan konten-konten Islami yang mendidik dan mengajak umat berpikir. Hanya saja, jumlah konten Islami masih sangat jauh jika dibandingkan dengan konten yang tak mendidik.
Begitu pula dengan masyarakat yang semakin peduli dengan persoalan negeri dan menawarkan solusi misalnya dengan konsep Islam politik juga mulai tampak di media sosial. Sayangnya, lagi-lagi soal jumlah masih terpaut jauh di bawah konten-konten sampah. Bahasan Islam secara umum saja belum bisa mengalahkan konten sampah, apalagi yang menjurus kepada Islam politik.
Sedikit sekali akun Youtube yang membahas tentang islam politik kemudian menjadi trending dan diperbincangkan di kalangan pengguna Youtube. Justru konten-konten seperti drama murahan artis, audisi pencarian bakat, atau bahkan sinetron yang semuanya berasal dari televisi diunggah di youtube.
Ditambah lagi para content creator kebanyakan hanya berlomba-lomba untuk mendapatkan viewer demi menaikkan eksistensi, bukan untuk menyampaikan sesuatu yang benar-benar bisa membentuk kepribadian manusia menjadi baik. Dengan kata lain, content creator cenderung mengikuti keinginan masyarakat yang sebagian masih memiliki selera sinetron.
Hal ini tidaklah mengejutkan karena masyarakat Indonesia sendiri masih memiliki pemikiran yang demikian. Maunya yang ringan-ringan dan menghibur, meski tak mendidik tak mengapa.
BACA JUGA: Bila Kecanduan Media Sosial
Walaupun mayoritas penduduk Indonesia muslim, akan tetapi masih sedikit sekali masyarakat yang sadar akan pentingnya peran media sosial dalam membentuk pemikiran dan karakter penontonnya.
Untuk itulah, maka kepada penggiat media sosial yang berkecimpung di dunia pendidikan dan dakwah Islam, jangan mau kalah dengan konten sampah. Harus lebih kreatif mencari cara lagi agar media sosial tidak didominasi konten tak bermutu yang bisa semakin merusak pemikiran dan kepribadian umat terutama generasi muda sebagai generasi penerus bangsa di masa depan.
Tapi, tak bisa dipungkiri juga bahwa tugas membersihkan media sosial dari konten sampah harus didukung oleh negara karena negara lah yang punya otoritas untuk mengatur jaringan media sosial tentang apa yang boleh dan tak boleh tersebar di media sosial. []
OPINI ini adalah kiriman pembaca Islampos. Kirim OPINI Anda lewat imel ke: islampos@gmail.com, paling banyak dua (2) halaman MS Word. Sertakan biodata singkat dan foto diri. Isi dari OPINI di luar tanggung jawab redaksi Islampos.