SETIAP daerah, suku, negeri, dan kaum, biasanya memiliki adat-istiadat yang telah berjalan secara turun temurun. Baik adat tersebut dalam bentuk pakaian, atau perilaku, atau ucapan, atau kegiatan, atau rumah, atau permainan atau yang lainnya. Adat secara bahasa dari kata “al-‘aud” atau “al-mu’awadah” yang artinya berulang-ulang. Adapun secara istilah, adat adalah :
عِبَارَةٌ عَمَّا اسْتَقَرَّ فِي النُّفُوسِ مِنَ الأْمُورِ الْمُتَكَرِّرَةِ الْمَقْبُولَةِ عِنْدَ الطَّبَائِعِ السَّلِيمَةِ
“Sebuah ungkapan untuk apa-apa yang telah tetap di dalam jiwa berupa perkara-perkara yang telah terjadi berulang-ulang serta diterima di sisi tabi’at yang lurus.”
BACA JUGA: Benarkah Cadar Itu dari Budaya Arab?
Adat, hukum asalnya boleh, sampai ada dalil yang mengharamkannya (jadi jangan tanya dalil atau ada tidak contohnya dari nabi). Suatu adat, sepanjang tidak termasuk dalam perkara yang dilarang oleh syari’at, maka merupakan perkara yang selayaknya untuk dijaga dan dilestarikan. Jangan sampai kita meninggalkan, menyalahi, dan menyelisihi adat setempat, lebih-lebih mengubahnya. Ini perkara yang tidak sepantasnya dilakukan oleh seorang muslim. Karena biasanya, hal itu akan menjadi sebab terjadinya kegoncangan, kegaduhan, pertikaian, permusuhan dan fitnah di masyarakat muslimin. Dan semua perkara ini, terlarang di dalam syari’at Islam. Karena agama ini dibangun di atas pokok kaidah “untuk memperbanyak kemaslahatan dan meminimalisir kerusakan”. Maka mencocoki adat, merupakan perkara yang dituntut di dalam syari’at kita.
Imam Asy-Syafi’i –rahimahullah- telah mewanti-wanti kita selain dalam perkara ini. Dimana beliau –rahimahullah- berkata:
ترك العادة ذنب مُسْتَحْدَث
“Meninggalkan adat, merupakan dosa baru.” [Manaqib Asy-Syafi’i : 2/213, karya Imam Al-Baihaqi].
Imam Ibnu Muflih Al-Hambali –rahimahullah- berkata:
وَقَالَ ابْنُ عَقِيلٍ فِي الْفُنُونِ لَا يَنْبَغِي الْخُرُوجُ مِنْ عَادَاتِ النَّاسِ إلَّا فِي الْحَرَامِ فَإِنَّ الرَّسُولَ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – تَرَكَ الْكَعْبَةَ وَقَالَ «لَوْلَا حِدْثَانُ قَوْمِكِ الْجَاهِلِيَّةَ»
“Ibnu Aqil –rahimahullah- berkata di dalam “Al-Funun”: Tidak seyogyanya untuk keluar dari berbagai adat manusia, kecuali dalam perkara yang haram. Sesungguhnya Rasulullah –shallallahu ‘alaihiw wa sallam- meninggalkan (untuk mengembalikan) Ka’bah (kepada bentuknya yang asli) seraya berkata: “Kalau bukan karena kaummu baru saja meninggalkan masa jahiliyyah (aku akan kembalikan Ka’bah kepada bentuknya yang asli)”. [Al-Adabusy Syar’iyyah : 2/43].
BACA JUGA: Apakah Teknologi Sedang Membunuh Budaya kita?
Umar bin Al-Khathab –radhiallahu ‘anhu- meninggalkan untuk menulis ayat rajam, karena khawatir manusia di zaman itu akan menuduhnya menambah Al-Qur’an. Imam Ahmad pernah mengamalkan shalat dua rakaat qabliyyah Maghrib sebagaimana dalam “Al-Fushul”. Lalu beliau meninggalkannya setelah itu, karena manusia kala itu tidak mengerti masalah ini sehingga mereka mengingkarinya. Dan masih banyak contoh-contoh yang lainnya. Adapun jika suatu adat jelas-jelas bertentangan dengan syari’at, maka tidak boleh untuk kita ikuti.
Demikian, semoga bermanfaat bagi kita sekalian. Walhamdulillah Rabbil ‘alamin. []
Facebook: Abdullah Al Jirani