Oleh: Dini Koswarini
(mahasiswa, Purwakarta)
“KAMU tuh, harus bisa beres-beres kalo udah nikah.”
“Kamu tuh, harus bisa masak kalo udah nikah.”
“Kamu tuh, harus mandiri kalo udah nikah.”
Tidak sedikit ucapan itu terlontar dari mulut orang-orang atau mungkin saya sendiri.
Kata nikah terdengar dengan disusul oleh suatu kebaikan. Itu bagus. Itu baik.
Banyak orang yang percaya jika nikah itu suatu ibadah. Bahkan menjadi ibadah terlama.
Karena mereka tahu jika menjadi istri sholihah dan patuh terhadap suami maka dia diperbolehkan masuk surga dari pintu manapun.
BACA JUGA:Kenapa Telat Nikah?
Berdasarkan dari sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam, “Jika seorang wanita menunaikan shalat lima waktu, berpuasa di bulan Ramadhan, menjaga kemaluannya dan menaati suaminya; niscaya akan dikatakan padanya: “Masuklah ke dalam surga dari pintu manapun yang kau mau”. (HR. Ahmad dari Abdurrahman bin ‘Auf radhiyallahu’anhu dan dinyatakan hasan oleh Syaikh al-Albany).
Tapi, mereka lupa seakan nikah itu satu-satunya ibadah. Mereka lupa jika patuh dan berbakti terhadap orangtua pun menjadi ladang ibadah buat mereka.
Padahal dalam As-Sunnah, Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda, “Keridhaan Rabb (Allah) ada pada keridhaan orang tua dan kemurkaan Rabb (Allah) ada pada kemurkaan orang tua.” (Riwayat Tirmidzi dalam Jami’nya (1/346), Hadits ini Shahih, lihat Silsilah Al Hadits Ash Shahiihah No. 516)
Jangan salahkan hadits dan sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam. Sesali kenapa yang diketahui cuma tentang nikah saja.
Hal ini membuat banyak orang berlomba-lomba mencari pasangan, terlepas dari bagaimana cara mereka berikhtiar. Pacaran, Ta’aruf atau pacaran berkedok ta’aruf.
Bagi orang yang mafhum, mereka tahu harus mengejar cinta dan ridho Allah sebelum mengharapkan cinta dari makhluk-Nya.
Lalu apa mau penulis ini?
Karena saya belum nikah, saya suka merubah ucapan. Ketika saya bosan mendengar kata nikah dan pasangan, saya merubahnya dengan kata ajaib yang mampu meminimalisir virus ‘Ngebet nikah sebelum waktunya.’
Apa itu?
“Kamu tuh, harus bisa beres-beres kalo jadi anak.”
“Kamu tuh, harus bisa masak kalo jadi anak.”
“Kamu tuh, harus mandiri kalo jadi anak.”
Kenapa gitu?
BACA JUGA: Mengapa Aisyah Tidak Menikah Lagi setelah Nabi Wafat?
Agar bisa merubah diri dan memaksa diri saya dalam mempersiapkan segala hal untuk orangtua. Agar saya yakin jika orangtua adalah cinta yang sebenarnya.
Kalo nggak sinkron antara sikap terhadap orangtua dan pasangan ‘nanti’, usahakan jangan prioritaskan pasangan dulu. Seolah kita harus bisa segala hal untuk pasangan (berupa sosok makhluk Allah yang baru kita kenal secara dekat dibandingkan orangtua, yang nantinya akan menjalani hidup bersama, selamanya).
Lalu, persiapan kita untuk orangtua gimana? Seadanya aja.
Jangan biarkan saya, si pemalas, jadi lebih buruk karena ngebet nikah. Buatlah si pemalas ini lebih mempersiapkan untuk jadi seorang anak yang sebenarnya.
Kalo mempersiapkan diri untuk pasangan lebih ditekuni, artinya ada kesulitan tersendiri bukan? Jadi, buat apa mempersulit diri untuk orang baru? Kenapa ga untuk orangtua?
Saya rasa ini akan jadi perdebatan dikalangan orang yang kurang memahaminya. Ga jadi masalah sih.
Yang udah nikah jangan su’udzan, meskipun su’udzan tidak bisa lepas dari manusia. Sebab kalian punya anak yang harus dididik agar menjadi anak yang berbakti terhadap orangtua.
Jangan biarin ngebet nikah tanpa ilmu ya. []