PERNAHKAH anda ditawarkan makanan oleh seseorang, kemudian anda menolaknya? Ya, bagi sebagian orang pasti pernah melakukan penolakan itu, dengan alasan yang berbeda-beda. Ada yang menolaknya dengan diam, ada yang mengungkapkan ketidak gemarannya terhadap makanan tersebut dan lain sebagainya, namun bagaimanakah jika penolakannya dengan mencela makanan, apa pandangan islam tentang hal itu?
Jika seseorang merasakan ketidak lezatan makanan yang sedang ia santap, hendaklah ia berdiam tanpa celaan terhadap makanan tersebut. Jika ia suka hendaklah ia menyantap dan memakannya sampai habis, namun jika ia tidak menyukainya maka hendaklah ia meninggalkannya yakni tidak memakannya. Sebagaimana di dalam hadits shahih berikut,
Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu berkata, “Nabi Shallallahu alaihi wa sallam tidak pernah mencela makanan sedikitpun. Jika beliau mau, beliau makan, dan jika tidak suka, beliau meninggalkannya,” (HR al-Bukhori, Muslim, dan Abu Dawud)
Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Semua makanan yang mubah (dibolehkan untuk dimakan), Nabi Shallallahu alaihi wa sallam tidak pernah mencelanya. Adapun yang haram, maka Beliau mencela dan menghinanya serta dilarang dari (memakan)nya.
Terdapat keagungan akhlak Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, Beliau senantiasa menjaga perasaan para pembuat makanan dan juru masaknya. Beliau tidak mencela karya mereka, tidak mengoyak perasaan mereka dan mematahkah hati mereka. Terdapat penjelasan akan adab yang baik, karena seseorang itu terkadang tidak berhasrat kepada suatu makanan tetapi berminat kepada makanan yang lainnya.”
Maksudnya adalah jika seseorang memakan suatu makanan, lalu ia merasakan makanan tersebut tidak enak, maka janganlah ia berkata yang tidak-tidak akan makanan tersebut. Jangan pula ia mencela, mengejek dan mengolok-oloknya, apalagi sampai mengucapkan, ‘makanan apa ini? rasanya tidak enak sekali!’. Atau mengatakan, ‘Aduh makanannya asin banget, atau hambar sekali, dan sejenisnya. Atau jika dihidangkan kurma kepada seseorang, namun kondisi kurma itu kurang baik maka janganlah ia mengatakan, ‘Ini kurma yang jelek’. Maka jika ia berselera, silahkanlah ia memakannya. Tetapi jika tidak, tinggalkanlah kurma tersebut tanpa mencela dan mengejeknya.
Dan dalam hadits yang lain, apabila makanan tersebut terasa lezat dan nikmat, maka dianjurkan baginya untuk memuji makanan tersebut ketika sedang menikmatinya.
Dari Jabir bin Abdillah radliyallahu anhu berkata, “Sesungguhnya Nabi Shallallahu alaihi wa Sallam pernah meminta lauk daripada para isterinya. Maka para isterinya berkata, “Tiada apa di sisi kami kecuali khall (cuka).” Maka beliau pun meminta dibawakan cuka tersebut lalu beliau pun makan berlauk dengannya. Dan beliau mengatakan, “Lauk yang paling nikmat (enak) adalah cuka, lauk yang paling nikmat adalah cuka,” (HR Muslima, Turmudziy, Ibnu Majah, ad-Darimiy, Ahmad)
Tetapi apabila ditanya kenapa kita tidak makan makanan tertentu, maka dibolehkan menyatakan alasannya dengan baik tanpa memburuk-burukkan makanan tersebut. Ini sebagaimana hadits dari Kholid bin al-Walid di mana Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam enggan makan makanan berupa daging dhabb (biawak padang pasir).
Apabila beliau ditanya tentang dhabb apakah haram dimakan, maka Rasulullah mengatakan, “Dhabb tersebut tidak terdapat di kampung halamanku (bukan makanan kebiasaan bagi masyarakatnya), jadi aku rasa tidak biasa dengannya (atau tidak selera terhadapnya),” [HR al-Bukhori, Muslim, Abu Dawud, Ahmad, al-Baihaqiy dan asy-Syafi’i)
Berkata asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah, “Dan ini juga termasuk dari petunjuk Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, bahwa jika Beliau menyukai suatu makanan maka Beliau akan memujinya. Dan seperti itu pula seandainya engkau menyanjung (kelezatan rasa) roti yaitu engkau mengatakan, ‘Roti yang paling nikmat adalah roti si Fulan atau yang semisalnya’. Maka ini juga jelas termasuk dari sunnah Rasul Shallallahu alaihi wa sallam.”
Nah itu lah, adab bagaimana seorang Muslim harus dapat menempatkan kata-katanya dengan baik dan tidak mencela makanan yang tidak digemari atau disukai, sehingga salah satu pihak tidak ada yang merasa sakit hati. Sesungguhnya dengan kita menjaga lisan adalah salah satu amal yang disukai Allah SWT. []
SUMBER BUKU: HADITS BUDI LUHUR/ KARYA: MUHAMMAD SAID/ PENERBIT: PUTRA AL MAARIF