PERNYATAAN tersebut di atas memang ada benarnya, jika yang dimaksud adalah berlebih-lebihan sampai melampaui batas dalam menampilkan kemesraan dengan pasangannya. Atau memamerkan kebahagiaan hanya dari sudut pandang materi saja, seperti memamerkan mobil baru, rumah baru dan sebagainya.
Tapi ingat..! Pernyataan itu bukan hadits nabi, apalagi ayat suci. Jadi, masih memungkinkan untuk dikritisi.
Perlu kita sadari, bahwa saat ini kita hidup di zaman yang penuh dengan peperangan pemikiran, termasuk perang opini di sosmed.
Saat ini, kita sudah terlalu muak disuguhi oleh status-status negatif, tentang kenakalan remaja, perselingkuhan, perceraian dan lain-lain.
Jika hanya informasi negatif tersebut yang muncul dan memenangi opini, maka seolah di dunia ini tidak ada lagi kebaikan. Apalagi secara naluriyah konten-konten negatif begitu amat sangat cepatnya menjadi viral, seperti video seorang anak yang menendang ibunya, seorang suami yang menyiksa istrinya, sepasang remaja bau kencur yang melakukan adegan tidak senonoh, dan video-video sejenis. Sehingga lama-lama orang merasa lumrah dengan keburukan.
Di sisi lain, video-video positif begitu sulit untuk menjadi viral.
Tidakkah kita prihatin melihat keadaan ini?
Maka menyuguhkan status-status kemesraan suami istri dan kebahagiaan rumahtangga, termasuk menampilkan kesolehan anak-anak menjadi seperti oase di tengah padang pasir, yang memberikan harapan, bahwa model pasangan setia itu ada, bahwa model anak-anak soleh di tengah krisis moral itu ada, bahwa model kehidupan bahagia tanpa melulu bersifat materi itu ada, dan bisa dicapai oleh siapa pun.
Bayangkan jika sosmed ini hanya dipenuhi oleh kegalauan anak muda yang diputus pacarnya, atau kegalauan seorang istri yang dikhianati suaminya, atau keluh kesah atas cuaca yang sangat panas, dan sebagainya. Akan menjadi apa warna dunia ini..? Seperti seorang perempuan yang mengatakan, “Semua lelaki sama saja..! Brengsek..!” itu bukan karena tidak ada lelaki yang baik. Namun karena informasi yang masuk ke otaknya tentang lelaki selalu yang buruk-buruk. Dia tidak membuka pikiran bahwa masih banyak lelaki yang baik.
Maka, tidak perlu kita merasa ciut untuk menebar kebaikan.
Ingat..! Tujuan kita bukan untuk mencari pujian manusia, tapi demi menebar kebaikan.
Ada pepatah yang mengatakan… Berbuat baik karena ingin dipuji orang adalah RIYA. Dan membatalkan perbuatan baik yang sudah kita niatkan karna takut disebut RIYA, adalah RIYA. Ya..! Karena muaranya sama, yaitu penilaian orang lain.
Masalah riya… Itu letaknya di hati, bukan di zahir. Semuanya kembali kepada niat.
Ketika istri nabi yang mulia, Aisyah radhiallaahu anha menceritakan kepada para sahabat tentang kebaikan-kebaikan nabi, termasuk ibadahnya, qiyamul lail-nya sampai kakinya bengkak-bengkak, apakah kita berani mengatakan beliau riya..? Ujub..? Berbangga memiliki suami paling soleh..? Tentu tidak..!
Beliau pun tidak canggung menyanjung nabi sebagai manusia paling romantis di dunia ini. Bahkan setiap fragmen kehidupan rumahtangganya bersama nabi begitu terbuka. Dan tidak mungkin para sahabat mengintip kehidupan rumahtangga nabi melalui jendela atau melubangi tembok. Semuanya pasti diceritakan. Bahasa zaman now-nya dibikin status, dan menjadi viral karena di-share dari mulut ke mulut.
Jika semua kebaikan yang nampak itu selalu dipandang riya, maka tidak akan ada manusia di dunia ini yang akan mengajak kepada kebaikan. Tidak akan ada dakwah. Dan dunia hanya akan dipenuhi oleh keburukan.
Kalau mau jujur, konten-konten negatif di sosmed itu jauh lebih marak dibanding konten-konten positif. Naaah… Jangan sampai kita menjadi lemah hanya karena cibiran orang. Atau bahkan mungkin ada yang secara tidak sadar malah menjadi agen-agen setan yang sengaja membungkam kebaikan dengan cara mencibirnya..? Membuat orang lain ciut untuk menyampaikan status-status kebaikan..?
Jangan kita merasa gerah ketika melihat postingan keharmonisan dan kebahagiaan rumahtangga orang lain..! Jika ada perasaan gerah tersebut, maka yang harus dievaluasi adalah diri sendiri, bukan orang lain. Mungkin diri ini telah dihinggapi oleh penyakit iri dan hasad. Na’uudzubillaah. Hati-hati…! Itu adalah penyakit yang hanya akan menyeret pengidapnya semakin jauh dari kebaikan.
Fokus pada tujuan hidup kita, meraih ridho Allah, ampunan dan surga-Nya. Tidak perlu merasa iri dengki dengan kehidupan orang lain.
Ingat..! Dunia ini terlalu kecil dan sempit untuk diperebutkan, sementara surga Allah itu teramat sangat luas, dimana setiap kita bisa memasukinya tanpa harus berdesakan, sikut kiri, sikut kanan, sundul atas dan injak bawah.
Dalam kompetisi surgawi (fastabiqul khoirot), kita bisa menang tanpa harus mengalahkan orang lain.
Kesimpulannya… Luruskan niat, dan teruslah menebar kebaikan, karena dunia ini sudah terlalu sesak dengan tontonan keburukan.
Wallaahu A’lam bis Shawaab. []